Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Barter Perkara Korupsi

Kompas.com - 12/03/2015, 15:05 WIB


Oleh: Reza Syawawi

JAKARTA, KOMPAS - Suatu kali seorang kawan mengatakan mengapa Bambang Widjojanto dan Abraham Samad dikriminalisasi. Dia hanya mengatakan hal itu terjadi karena keduanya terlalu tajam mengasah pedang hukum ke atas. Padahal, selama ini hukum selalu dipersepsikan tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.

Di lain kesempatan, Mochtar Pabottingi menyampaikan sanggahannya terhadap usul agar pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dikriminalisasi untuk mengajukan praperadilan sebagaimana dilakukan Budi Gunawan (BG). Baginya kedua kasus itu tak bisa disamakan. Ia mengumpamakan kasus yang disangkakan terhadap Bambang Widjajanto (BW) dan Abraham Samad (AS) hanyalah kasus "ecek-ecek", sementara BG diduga terlibat kasus tindak pidana korupsi.

Pelimpahan perkara

Belakangan diketahui, kasus BG akhirnya dilimpahkan ke kejaksaan, dan oleh kejaksaan akan dilimpahkan lagi kepada Polri. Tak berselang lama, Polri menyatakan akan menghentikan sementara kasus kedua pimpinan KPK lainnya (Zulkarnain dan Adnan Pandu Praja).

Seluruh rangkaian perjalanan kriminalisasi ini bisa dibaca dan ditafsirkan sebagai bargaining dalam penegakan hukum. Dalam bahasa awam bisa diterjemahkan bahwa telah terjadi perdamaian antara KPK dan Polri dengan cara membarter kasus di antara keduanya.

Pelimpahan perkara korupsi dari KPK kepada penegak hukum lain (polisi dan jaksa) akan menjadi tradisi hukum yang paling buruk dalam sejarah republik. Tidak hanya karena tanpa dasar hukum, tetapi muncul di dalam situasi di mana komisi anti korupsi sedang dilemahkan.

Riuhnya hubungan KPK dan Polri semakin liar ketika hakim Sarpin Rizaldi menerima permohonan praperadilan BG. Konteksnya tidak hanya soal hakim yang memutus di luar kewenangannya, tetapi hakim tidak mempertimbangkan akibat hukum dari putusannya tersebut.

Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa penyidikan dan status tersangka terhadap BG dinyatakan tidak sah. Putusan ini menimbulkan ketakpastian hukum yang terkait sistem penanganan perkara korupsi di KPK.

Ketidakpastian hukum tersebut dapat dilihat dalam dua hal. Pertama, jika hakim memutuskan bahwa penetapan tersangka tidak sah, maka KPK secara kelembagaan harus mengeluarkan penetapan untuk menghentikan tindakan penyidikan. Namun, jika berpedoman kepada Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU No 30/2002), tidak ada ketentuan yang memperbolehkan KPK menghentikan perkara pada penyidikan maupun penuntutan. Artinya putusan praperadilan bertentangan dengan norma hukum yang berlaku dan belum pernah dibatalkan oleh institusi yang berwenang.

Dalam praktiknya, pelimpahan perkara dari KPK kepada lembaga penegak hukum lain dimungkinkan hanya terhadap perkara yang belum masuk tahap penyidikan atau penuntutan. Sebaliknya, ketika perkara tersebut telah dilakukan tindakan-tindakan penyidikan atau penuntutan, maka selamanya kasus tersebut wajib hukumnya tetap ditangani KPK.

Kedua, di dalam UU tentang KPK pengaturan pelimpahan perkara dalam konteks "mengambil alih" perkara korupsi hanya bisa dilakukan oleh KPK dan bukan sebaliknya.

Pasal 8 Ayat (2) menyebutkan bahwa KPK berwenang mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Oleh karena itu, di dalam kasus BG, tindakan KPK yang melimpahkan perkara tersebut ke kejaksaan adalah bagian dari pelanggaran hukum.

Ide pelimpahan perkara yang tidak memiliki dasar hukum ini lebih layak disebut sebagai "barter" perkara. Bagi masyarakat sipil, kebijakan pelimpahan perkara BG ini telah menjadi bagian dari upaya merusak dan membajak KPK dari dalam.

Jebakan perppu

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 8 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com