Karena itu, komitmen Presiden Megawati terhadap upaya penghilangan segala bentuk kejahatan korupsi tak perlu diragukan lagi. Setahun kemudian KPK resmi terbentuk. Pengalaman penulis mulai dari penyusunan draf UU hingga pembentukan komisi, pemerintah saat itu memfasilitasi dengan baik. Seandainya komitmen terhadap pemberantasan korupsi tak kuat, gampang saja pemerintah mengaborsi penggodokan RUU atau mengulur waktu pembentukan KPK. Begitu juga sewaktu KPK mengusut kasus korupsi yang melibatkan beberapa politikus papan atas dari PDI-P, Ibu Mega tidak mengintervensi KPK.
Sayangnya, di tengah upaya KPK mengintensifkan upaya pemberantasan korupsi, gelombang serangan datang dari segala penjuru, termasuk PDI-P. Pelaporan seorang anggota DPR atas kasus Pilkada Kotawaringin Barat berujung pada pusaran krisis akan eksistensi lembaga KPK dan upaya pemberantasan korupsi. Penulis memandang bentuk pelaporan ini menggoyahkan KPK karena berujung pada krisis kelembagaan akibat status tersangka seorang komisioner lembaga anti rasuah ini.
Patut disayangkan hal ini terjadi karena, seperti disampaikan di atas, Presiden Megawati—baik sebagai kepala negara saat berkuasa maupun ketua umum partai—tidak melakukan pelemahan terhadap KPK. Sebagai seorang ibu, tentu Megawati sangat paham bahwa KPK adalah anak kandung pemerintahannya untuk melawan patgulipat korupsi yang telah mengakar dan mendarah daging.
Pengalaman Korea Selatan dan Thailand menunjukkan bahwa komisi anti korupsi akan dikerdilkan bahkan diamputasi oleh rezim selanjutnya. Presiden Jokowi sendiri memiliki rekam jejak yang nyata untuk agenda anti korupsi. Beliau penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) sehingga tentunya memiliki tekad kuat untuk memberantas korupsi. Kemelut saat ini perlu diselesaikan dengan tepat dan cepat. Sekarang sebagai "petugas partai" Presiden Jokowi dinantikan langkahnya untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan KPK, lembaga yang menjadi warisan Megawati.
Luky Djani
Peneliti ISI dan Anggota Dewan Juri BHACA 2013