Akibatnya, hampir semua orang, terutama mereka yang mengaku sebagai pemimpin, hanya punya horizon sempit terkait kepentingan dirinya. Individualisme dan egoisme dirayakan secara berderap-derap.
Keinginan kaya dan terkenal (tanpa peduli dengan caranya meraih kekayaan) telah menjadi impian kolektif. Ini menandai tragedi besar sebuah bangsa yang akhirnya berujung pada semangat colong-njupuk (korupsi) demi hedonisme.
Bangsa ini berharap, dengan kabinetnya yang berspirit kerja, rezim baru Jokowi-JK mampu mengembalikan kesadaran etik dan etos bangsa yang berbasis pada solidaritas sehingga terwujud mimpi besar hamemayu hayuning buwana lan menungsa yang turunannya adalah keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat.
Konsep etik
Untuk itu, konsep dan tindakan etik hamemayu hayuning buwana lan menungsa dapat diperluas menjadi hamemayu hayuning budaya, bangsa lan negara.
Ini penting karena selama ini yang lebih diutamakan adalah hamemayu mundaking honorarium alias memuja naiknya penghasilan atau upah sehingga berlaku
rame ing honorarium sepi ing gawe (maju dalam hal imbalan, sepi dalam kerja/pengabdian). Terminologi wani pira sejatinya berakar dari runtuhnya konsep hamemayu hayuning buwana, menungsa, budaya, negara, lan bangsa.
Beranikah Kabinet Kerja Jokowi-JK menghirup kopi pahit, bersusah payah demi mewujudkan konsep hamemayu hayuning buwana, menungsa, budaya, negara, lan bangsa?
Beranikah Kabinet Jokowi mengakhiri ”pengkhianatan kaum intelektual” yang selama ini terus berulang dan hanya menghasilkan intelektual dan politisi salon yang culas dan hedonistik?
Memimpin negara-bangsa membutuhkan kemampuan berlapis-lapis, baik dalam skala budaya ide (melahirkan gagasan visioner, ber- nilai), budaya perilaku/ekspresi (budaya bertindak, baik secara etik maupun pragmatik), maupun budaya karya (hasil bernilai yang memberi makna atas kehidupan kolektif).
Tak kalah penting adalah ketangguhan sebagai kesatria konstitusi yang pro rakyat, pro keadilan, dan pro kesejahteraan serta steril dari korupsi.
Indra Tranggono
Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan