KOMPAS.com - "Badan permusyawaratan yang akan kita buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, melainkan badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip, yakni keadilan politik dan keadilan sosial".
Demikian penggalan pidato Soekarno di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945.
Setelah 69 tahun berlalu, harapan Soekarno itu masih lebih banyak berupa harapan. Lembaga perwakilan di Indonesia masih lebih mengedepankan kepentingan golongan atau kelompoknya. Berjuang untuk seluruh rakyat cenderung masih sebatas menjadi jargon yang indah.
Fenomena ini terlihat jelas jika melihat kondisi DPR periode 2014-2019 pada masa persidangan II tahun sidang 2014-2015 yang merupakan masa persidangan mereka yang pertama. Masa persidangan yang berlangsung pada 1 Oktober-5 Desember lalu habis dipakai oleh DPR untuk menyelesaikan permasalahan internal mereka, mulai dari pemilihan pimpinan hingga pembentukan alat kelengkapan DPR.
Tiga fungsi DPR, yakni pengawasan, legislasi, dan penganggaran, nyaris tak berjalan pada periode itu. DPR gagal menggelar rapat pengawasan kinerja pemerintah karena hampir semua menteri tak memenuhi undangan DPR. Alasannya, DPR masih punya masalah internal, yang dipicu oleh keberadaan dua kelompok besar, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Di bidang legislasi, DPR hanya bisa menyelesaikan pembahasan satu undang- undang. UU itu pun hanya yang mengatur internal DPR, yakni UU Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015 juga belum selesai disusun oleh DPR periode 2014-2019. Upaya Badan Legislasi memulai pembahasan Prolegnas tahunan dan Prolegnas lima tahunan terhambat karena harus mendahulukan pembahasan revisi UU MD3.
Kondisi DPR 2014-2019 ini bertolak belakang dengan DPR 2009-2014 pada awal masa jabatan mereka. Pada masa persidangan pertamanya, DPR 2009-2014 sudah dapat menyusun Prolegnas 2010 dan Prolegnas 2010-2015.
Fungsi pengawasan juga langsung dijalankan DPR 2009-2014 pada awal masa persidangan mereka. Saat itu, hak angket langsung diputuskan untuk menyelidiki dugaan penyimpangan dalam pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century.
Namun, awal yang baik itu tidak diikuti dengan kinerja yang memuaskan pada waktu-waktu sesudahnya. DPR 2009-2014 kemudian disibukkan dengan upaya memenuhi kepentingan sendiri, seperti terlihat dalam rencana pembangunan gedung baru dan dana aspirasi. Sejumlah anggota DPR 2009-2014 juga harus diproses hukum Komisi Pemberantasan Korupsi karena terlibat kasus korupsi.
Pada awal tahun 2014, ruang rapat di DPR banyak yang kosong karena para penghuninya lebih banyak ke daerah untuk mempersiapkan pemilu.
Apakah DPR 2014-2019 akan mengikuti jejak buruk pendahulunya itu? Waktu yang akan menjawabnya.
Dampak pemilu
Polemik yang muncul pada masa persidangan pertama DPR 2014-2019 dipicu oleh keberadaan KMP dan KIH, koalisi yang muncul saat pemilihan presiden lalu. Saat itu, KIH mendukung pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan KMP mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Namun, polemik KIH dan KMP di DPR ini sebenarnya sudah terasa sejak pembahasan RUU MD3 oleh DPR periode 2009-2014. Pembahasan RUU itu banyak dilakukan setelah pemilu legislatif dan kemudian disahkan pada 8 Juli, satu hari sebelum pemilu presiden. KMP yang gagal memenangi pilpres berhasil mengegolkan sejumlah aturan dalam UU MD3 yang memungkinkan mereka dapat menguasai parlemen. Aturan itu antara lain tentang mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR yang dilakukan dengan sistem paket.