Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Terus Bekerja dalam Diam

Kompas.com - 11/12/2014, 13:59 WIB


KOMPAS.com - DIA sengaja meminta agar namanya tak disebut. Sebagai penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi, banyak informasi yang pernah dia berikan. Salah satunya tentang politisi yang kini menjadi pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat yang diduga menerima jatah uang dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Informasi yang diberikan jauh sebelum mantan pegawai Nazaruddin di Grup Permai, Yulianis, mengungkapnya di persidangan. Kali ini, dia tidak sedang berbagi informasi tentang perkembangan penyidikan. Saat KPK memperingati Hari Anti Korupsi Internasional di Yogyakarta dan menyoroti keluarga yang menjadi mata rantai korupsi, sebagai penyidik di lembaga anti rasuah, dia merasa prihatin kepada dirinya sendiri.

Bagaimana tidak, amanah tugas membuatnya lebih banyak menghabiskan waktu mengungkap kasus korupsi daripada bersama keluarga. Saat ditanya bagaimana dia memberikan nilai-nilai anti korupsi kepada anak-anaknya, dia hanya berujar lirih, ”Yang kasih nilai guru-gurunya mereka di sekolah. Saya jarang ketemu anak-anak. Berangkat (kerja) pagi, pulang malam. Berangkat kerja, anak-anak belum bangun. Pulang juga sudah tidur. Bisa ketemu dekat hanya Sabtu-Minggu.”

Dia malah pernah tak pulang seminggu lebih karena bekerja untuk mengecek fisik di lapangan di sejumlah daerah. Misalnya, saat mengusut kasus dugaan korupsi simulator ujian surat izin mengemudi di Korps Lalu Lintas Polri. Pengecekan bertujuan mencocokkan spesifikasi simulator dengan dokumen tender.

Kasus lain yang juga sangat menyita waktu adalah dugaan korupsi pengadaan sistem komunikasi radio terpadu di Kementerian Kehutanan. Proyek ini ditujukan ke berbagai daerah sehingga penyidik harus berkeliling Indonesia untuk pengecekan fisik.

Tidak hanya penyidik. Para auditor, yang sebelumnya bertugas di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, juga dengan tekun menyelidiki kasus demi kasus. Mereka bekerja dalam diam, terutama ketika KPK menangkap basah tersangka korupsi lewat operasi tangkap tangan (OTT).

Para penyelidik berperan penting mengumpulkan mozaik informasi akan adanya penyuapan, lalu menyusun strategi OTT, sehingga sukses besar. Misalnya, penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar di kompleks pejabat negara, Widya Chandra, Jakarta, 2 Oktober 2013 malam.

Saat menyiapkan OTT, mereka bekerja 24 jam demi kesuksesan pada hari H. Bahkan, perempuan penyelidik KPK yang baru saja melahirkan terpaksa libur menyusui bayi karena ikut OTT dan penggeledahan sampai tuntas. Termasuk, berangkat ke luar kota secepat mungkin untuk melengkapi hasil OTT sebelum pihak terkait menghilangkan barang bukti.

Memang tidak mudah bekerja di KPK. Lihat saja tekanan terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan, yang ketika memimpin penggeledahan di Markas Korlantas dalam kasus simulator, masih berdinas aktif sebagai polisi.

Novel harus berhadapan dengan kolega satu korps yang sebagian besar justru berpangkat jauh di atasnya. Novel pun sempat dikriminalisasi sebagai tersangka kasus yang terjadi saat dia menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu tahun 2004.

”Menjadi penyidik harus punya kehendak kuat untuk berjuang. Bukan sekadar bekerja karena yang dibutuhkan adalah kesungguhan untuk berbuat dan keikhlasan berkorban. Harus mau berkorban menjadi penyidik. Baik dari sisi risiko, fisik, hukum, dan sebagainya,” ujar Novel.

Mengabdikan diri di KPK juga sebuah kebanggaan karena ikut membantu menyembuhkan penyakit kronis bangsa ini, yakni korupsi. ”Menjadi bagian dari orang yang diberi kesempatan untuk berperan dalam memberantas korupsi,” ujar jaksa KPK, Yudi Kristiana, saat ditanya apa yang membuat dia mencintai pekerjaannya saat ini. (KHAERUDIN)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Kontras Desak Jokowi dan Komnas HAM Dorong Kejagung Selesaikan Pelanggaran HAM Berat Secara Yudisial

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com