Banyak pihak memandang bahwa hukum bagaikan gerobak yang dapat dimuati segala macam barang. Artinya, hukum dapat diisi dengan bermacam-macam kepentingan dari beragam pihak. Posisi profesi jaksa (juga profesi hukum lainnya) atau undang-undang yang tampaknya netral dapat digunakan untuk menjangkau kepentingan yang berbeda-beda sesuai dengan keinginan pihak yang mampu dan memiliki kekuasaan untuk menggunakan peraturan atau profesi tersebut. Hal demikian merupakan ujian berat bagi profesionalitas jaksa.
Di lain pihak, jaksa agung sebagai bawahan presiden harus tunduk dengan kebijakan hukum atasannya sehingga tidak sedikit para pengamat hukum dan keadilan beranggapan bahwa jaksa tidak dapat dengan dalih profesionalitas menentukan arah penuntutannya sendiri.
Oleh karena itu, dalam usaha mengembangkan profesionalitas dan kemandiriannya, sudah semestinya jaksa tidak hanya secara formal memenuhi unsur-unsur yang ada dalam perangkat peraturan perundang-undangan, tetapi harus mencermati dengan hati nurani yang sesungguhnya terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat banyak, serta tidak memaksimalkan penilaian subyektif dalam suatu perkara.
Penilaian subyektif yang dipaksakan biasa digunakan oknum jaksa yang melanggar sumpah jabatan sehingga orang yang jelas bersalah dapat lolos dari hukum karena kepandaian oknum yang bersangkutan mempergunakan teknik-teknik hukum dalam prosedur hukum, atau menggunakan hukum semata tanpa menegakkan hukum, baik secara internal maupun eksternal.
Fenomena oknum "menggunakan" hukum dengan cara di atas, ditambahkan dengan mengemukakan alibi kurang cukup bukti sehingga akhirnya para pihak yang nyata-nyata bersalah dapat tidak dituntut untuk dimajukan ke pengadilan, patut dihindari agar hukum dapat ditegakkan dengan semestinya.
Tb Ronny Rachman Nitibaskara
Guru Besar Kriminologi; Ketua Program Ketahanan Nasional Pascasarjana UI