Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pimpinan DPR Dipilih atau Ditetapkan?

Kompas.com - 09/09/2014, 15:12 WIB


KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi dalam rentang waktu yang hampir bersamaan menerima delapan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sebanyak 5 perkara hampir memasuki sidang kedua, 1 perkara menunggu sidang perdana, dan 2 lainnya menunggu didaftarkan. UU MD3 menjadi rekor UU yang paling banyak dipersoalkan (delapan perkara sekaligus) dalam satu rentang waktu bersamaan.

Empat perkara di antaranya menyoal tentang mekanisme apa yang lebih konstitusional untuk mengisi kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR (pimpinan Badan Legislasi, Badan Anggaran, Badan Kerja Sama Antar-parlemen, Mahkamah Kehormatan Dewan, Badan Urusan Rumah Tangga, dan Panitia Khusus). Apakah penetapan berdasarkan urutan kursi terbanyak ataukah pemilihan oleh anggota DPR.

Empat perkara lainnya menyoal hal lain, seperti perlunya izin Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memeriksa anggota DPR dalam dugaan tindak pidana di luar kasus korupsi, pengujian formal dan material oleh DPD, dan lainnya.

PDI-P dan kelompok perempuan menyoal pasal tentang pemilihan pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR yang dinilai inkonstitusional. PDI-P menyoal masuknya Pasal 84, 97, 104, 109, 115, 121, dan 152 UU 17/2004 yang tidak melalui proses sebagaimana mestinya. Pasal-pasal itu tidak ada di dalam naskah akademik RUU ataupun Daftar Isian Masalah, tetapi kemudian muncul di proses akhir atau diselundupkan.

Sementara para pegiat perempuan dan LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan perempuan menyoal tentang tidak dipertimbangkannya keterwakilan perempuan dalam kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR. ”Lebih dari 50 persen pemilih adalah perempuan. Sudah selayaknya perempuan menjadi pimpinan untuk mewakili komunitas dan kepentingan perempuan,” ujar Nurul Amalia, kuasa hukum Koalisi Perempuan Indonesia.

Di sisi lain, ada Boyamin Saiman yang tiba-tiba masuk ke MK meminta MK membatalkan ketentuan pimpinan DPRD ditetapkan sesuai urutan kursi terbanyak. Menurut dia, model pemilihan untuk pimpinan DPR dan DPRD lebih sesuai Pancasila, terutama sila keempat.

MK pernah menolak

Persoalan mengenai mekanisme pengisian jabatan pimpinan lembaga perwakilan sebenarnya pernah disoal ke MK oleh Anthon Melkianus Natun, anggota DPRD Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Anthon mempersoalkan hilangnya jabatan Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kupang dari Partai Hanura karena perolehan kursi partainya berkurang setelah KPU memutuskan memindahkan tujuh anggota dewan/kursi DPRD Kabupaten Kupang ke daerah pemekaran baru Kabupaten Sabu Raijua. Kursinya sebagai pimpinan DPRD hilang karena jumlah kursi Partai Hanura turun.

Namun, MK menolak permohonan Anthon. Dalam pertimbangannya, MK menyebutkan, ketentuan Pasal 354 Ayat (2) UU 27/2009 yang menyebutkan penetapan pimpinan DPRD berdasar dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota sudah terang dan jelas.

"Ketentuan itu tidak bertentangan, bahkan sangat sejalan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang mempersamakan kedudukan segala warga negara, dari anggota parpol mana pun di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tanpa pengecualian. Penentuan komposisi kepemimpinan DPRD secara proporsional berdasarkan urutan perolehan kursi masing-masing parpol peserta pemilu di daerah yang bersangkutan adalah ketentuan yang adil karena perolehan peringkat kursi juga menunjukkan konfigurasi peringkat pilihan rakyat sebagai pemegang kedaulatan terhadap setiap parpol sehingga tidak ada alasan untuk menyatakan ketentuan demikian bertentangan dengan konstitusi,” demikian bunyi pertimbangan dalam putusan MK No 21/PUU-IX/2011 halaman 46.

Putusan itu dikeluarkan MK pada era pimpinan Mahfud MD. Putusan tidak bulat. Lima hakim menolak, empat hakim mengabulkan. Lima hakim itu adalah Mahfud MD, Achmad Sodiki, Harjono, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Muhammad Alim.

Sementara empat hakim lainnya (Hamdan Zoelva, Akil Mochtar, Maria Farida Indrati, dan Anwar Usman) mengajukan dissenting opinion atau pendapat berbeda. Khususnya mengenai bagaimana seharusnya pengisian pimpinan DPRD dilakukan, keempat hakim berpendapat seperti tertuang dalam putusan halaman 52, "Mekanisme penentuan pimpinan DPRD bukanlah persoalan konstitusional, tetapi persoalan legal policy dan politik hukum pembentuk undang-undang. Artinya, apakah pimpinan DPRD ditentukan berdasarkan peringkat perolehan kursi partai politik ataukah peringkat jumlah kursi di DPRD atau pemilihan oleh anggota DPRD hanyalah cara dan pilihan politik semata-mata dan bukan persoalan konstitusi.”

Moralitas konstitusional

Direktur Eksekutif Correct Refly Harun mengungkapkan, sukar menyatakan mana yang lebih konstitusional dari dua proses pengisian jabatan pimpinan lembaga perwakilan itu. Indonesia pernah mempraktikkan keduanya. Pemilihan ketua DPR pernah dilakukan pada tahun 1999 (terpilih Akbar Tandjung) dan 2004 (terpilih Agung Laksono dari Partai Golkar). Penetapan berdasarkan perolehan kursi juga pernah dilakukan pada 2009 ketika terpilih Marzuki Alie dari Partai Demokrat.

Namun, kata Refly, ada persoalan moralitas konstitusional dalam penetapan Pasal 84 dan pasal sejenis lainnya. ”Sebab, ini dibahas setelah hasil pemilu diketahui. Itu mirip dengan pertandingan sepak bola, misalnya ketika Jerman menang melawan Argentina. Karena kemenangan ada di Jerman, lalu mereka minta supaya pertandingan diulang,” kata Refly.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember yang juga Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Widodo Ekatjahjana mengungkapkan, MK sudah seharusnya menggali lebih dalam motivasi atau alasan yang melatarbelakangi munculnya norma itu. Hal ini diperlukan demi menegakkan keadilan dan menghadirkan demokrasi yang substantif.

”Kalau memang ingin menegakkan demokrasi substantif, MK bisa menggali lagi termasuk di dalamnya apakah prinsip fairness sudah terpenuhi. Orang paham semua, rakyat sudah diberi pilihan dan PDI-P menang. Ketika sudah menang, karena hanya alasan posisi pemilu presiden yang seperti itu, terjadi polarisasi, kok, dijegal. (Kursi pimpinan DPR) dicuri. Ini tidak fair,” ungkap Widodo.

Menurut rencana, MK akan menggelar kembali sidang pengujian UU MD3, 10 September, besok. Agenda sidang adalah memeriksa perbaikan permohonan. Hingga saat ini, MK belum memberikan sinyal apakah akan mengabulkan permohonan putusan sela untuk menunda pemberlakuan UU MD3 atau tidak. (Susana Rita)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PKK sampai Karang Taruna Dilibatkan Buat Perangi Judi 'Online'

PKK sampai Karang Taruna Dilibatkan Buat Perangi Judi "Online"

Nasional
4 Bandar Besar Judi 'Online' di Dalam Negeri Sudah Terdeteksi

4 Bandar Besar Judi "Online" di Dalam Negeri Sudah Terdeteksi

Nasional
[POPULER NASIONAL] Pertemuan Presiden PKS dan Ketum Nasdem Sebelum Usung Sohibul | 3 Anak Yusril Jadi Petinggi PBB

[POPULER NASIONAL] Pertemuan Presiden PKS dan Ketum Nasdem Sebelum Usung Sohibul | 3 Anak Yusril Jadi Petinggi PBB

Nasional
Tanggal 29 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Belajar dari Peretasan PDN, Pemerintah Ingin Bangun Transformasi Digital yang Aman dan Kuat

Belajar dari Peretasan PDN, Pemerintah Ingin Bangun Transformasi Digital yang Aman dan Kuat

Nasional
Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton ke Baja Disebut Disetujui Menteri PUPR

Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton ke Baja Disebut Disetujui Menteri PUPR

Nasional
Ketua RT di Kasus 'Vina Cirebon' Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Dugaan Keterangan Palsu

Ketua RT di Kasus "Vina Cirebon" Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Dugaan Keterangan Palsu

Nasional
Kongkalikong Pengadaan Truk, Eks Sestama Basarnas Jadi Tersangka

Kongkalikong Pengadaan Truk, Eks Sestama Basarnas Jadi Tersangka

Nasional
PKS Klaim Ridwan Kamil Ajak Berkoalisi di Pilkada Jabar

PKS Klaim Ridwan Kamil Ajak Berkoalisi di Pilkada Jabar

Nasional
Eks Pejabat Basarnas Pakai Uang Korupsi Rp 2,5 M untuk Beli Ikan Hias dan Kebutuhan Pribadi

Eks Pejabat Basarnas Pakai Uang Korupsi Rp 2,5 M untuk Beli Ikan Hias dan Kebutuhan Pribadi

Nasional
Penyerang PDN Minta Tebusan Rp 131 Miliar, Wamenkominfo: Kita Tidak Gampang Ditakut-takuti

Penyerang PDN Minta Tebusan Rp 131 Miliar, Wamenkominfo: Kita Tidak Gampang Ditakut-takuti

Nasional
Sebut Anggaran Pushidrosal Kecil, Luhut: Kalau Gini, Pemetaan Baru Selesai 120 Tahun

Sebut Anggaran Pushidrosal Kecil, Luhut: Kalau Gini, Pemetaan Baru Selesai 120 Tahun

Nasional
Kasus Korupsi Pembelian Truk Basarnas, KPK Sebut Negara Rugi Rp 20,4 Miliar

Kasus Korupsi Pembelian Truk Basarnas, KPK Sebut Negara Rugi Rp 20,4 Miliar

Nasional
PDI-P Sebut Hasto Masih Pimpin Rapat Internal Persiapan Pilkada 2024

PDI-P Sebut Hasto Masih Pimpin Rapat Internal Persiapan Pilkada 2024

Nasional
Bawas MA Bakal Periksa Majelis Hakim Gazalba Saleh jika Ada Indikasi Pelanggaran

Bawas MA Bakal Periksa Majelis Hakim Gazalba Saleh jika Ada Indikasi Pelanggaran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com