Pada sebuah hari di bulan Mei 1998, Ketika demo mahasiswa sedang berlangsung di sekitar Semanggi, saya dan beberapa rekan wartawan yang berlalu di depan gerombolan tentara yang sedang istirahat di jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, diteriaki oleh tentara-tentara muda itu, "Sana lapor ke Munir, kita nggak takut."
Entah apa maksud dari ucapan salah satu tentara yang kemudian diikuti tertawa penuh ejekan itu kepada kami. Tapi saya menangkap, mereka sungguh jeri kepada Munir. Mereka paham, Munir adalah musuh bersama, lantaran sepak terjang Munir barangkali dianggap menjadi penghalang pekerjaan mereka "meneggakkan" keamanan di bumi pertiwi ini.
Kami tentu saja tak melayani guraun sengit para tentara itu. Tapi dalam hati saya, sungguh hebat lelaki berperawakan kecil dengan kumis kemerahan bernama Munir itu. Namanya sudah menjadi momok yang menakutkan bagi pihak keamanan yang berbekal senjata dan kekuasaan.
Munir ya Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965). Saya mengenalnya dari kejauhan, meski sekali dua pernah juga bertemu muka dengannya. Pada pertemuan pertama di kawasan Blok M kala itu, saya langsung bersimpati kepadanya. Seorang lelaki dengan nama besar itu sungguh bersahaja. Ke mana-mana berkendara motor sendirian. Sebuah tindakan yang menurut saya cukup ceroboh. Mengingat pekerjaannya yang menantang bahaya. Tapi begitulah Munir, urat takutnya jangan-jangan sudah putus, sehingga tak ada yang perlu ditakuti, meski ancaman yang bisa membahayakan dirinya datang bertubi-tubi.
Saat berdekatan dengannya, saya juga merasakan aura kesederhanaan. Tak ada wangi parfum meruap, juga tak ada hiasan badan seperti arloji atau kalung emas yang jamak dipakai oleh banyak pengacara yang memiliki nama populer seperti dirinya. Dari kawan-kawan yang dekat dengannya, saya mendapat cerita, benda termewah yang pernah dimilikinya hanya
sebuah mobil Toyota Mark II keluaran tahun ’81 seharga sepuluh juta rupiah yang dibelinya secara mencicil. Munir suka mengutak atik soundsystem mobilnya itu, karena dia suka mendengar musik. Munir pun pernah punya impian untuk memiliki studio kedap suara didalam rumahnya agar dia bisa bebas mendengar musik musik kesukaannya. Tapi impian itu
belum pernah tercapai, “Rumah kami pun terlalu sempit untuk ditambah ruangan seperti itu” tutur Suciwati, isteri Munir. Saat sang istri membelikan kemeja di salah satu mall walaupun dengan harga diskon 50%, Munir bukannya senang, malah terlihat stress.
Mengenangkan MUnir, adalah mengenangkan luka sejarah yang tak bisa disembuhkan. Ya, seperti luka-luka lainnya yang begitu banyak menganga di sekujur tubuh negeri ini. Luka "Tragedi 1965", DOM Aceh, Priok, tragedi 27 Juli, tragedi Poso, Sampit, Trisakti, dan lain-lain.
Entahlah, kabut begitu gelap menutupi nyaris semua tragedi kemanusiaan di negeri ini. Termasuk pada kasus pembunuhan Munir. Bahkan Presiden, jabatan tertinggi di negeri ini, seperti tak berdaya ketika berhadapan dengan tragedi kemanusiaan yang menimpa rayatnya. Berapa kali presiden berganti, masih juga hanya sampai pada koma, belum sampai titik.
Semoga penantian Suciwati akan jawaban, siapa sesungguhnya dalang pembunuh suaminya akan terjawab. Tentu, yang mati tak akan kembali, tapi bahwa pertanyaan harus mendapatkan jawaban adalah sebuah keniscayaan. Sebab dari sana, moga-moga akan menyiutkan nyali para pemburu kekuasaan yang tega menghilangkan nyawa seseorang. Selanjutnya, kita pun bisa belajar kembali, bagaimana cara menghargai dan mengormati mereka yang berbeda dari kita.
@JodhiY
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.