Riak-riak kritik untuk Aburizal telah muncul sebelum Pemilu Legislatif 2014 digelar. Pemicu kritik adalah tudingan tak mampunya Aburizal mendongkrak elektabilitas Golkar yang rendah.
Kritik semakin nampak saat perolehan suara di Pileg 2014 hanya sekitar 18 juta suara, atau 14,75 persen jumlah suara sah. Padahal, Golkar menargetkan meraih 30 persen suara di pileg tahun ini.
Dengan perolehan suara tersebut, Golkar mendapat 91 kursi di DPR. Perolehan ini dianggap oleh banyak politisi Golkar sebagai sejarah paling buruk dalam sejarah keikutsertaannya di pileg. Sebagai gambaran, pada periode sebelumnya, Golkar mendapat 106 kursi di DPR.
Meski gagal mencapai target, Aburizal tetap percaya diri bertemu para petinggi dan pengurus Golkar tingkat provinsi dan kabupaten/kota di Rapimnas VI yang digelar di JCC, Senayan, Jakarta, pada 18 Mei 2014.
Dalam pidatonya, Aburizal mengaku sebagai pihak yang paling bertanggung jawab karena perolehan suara tak mencapai target dan meminta mesin partainya tak larut dalam pesimisme.
"Saya tidak ingin mengajak saudara-saudara memasuki alam melankolis dan larut dalam pesimisme," kata dia.
Tak goyah walau "kalah"
Imbas dari gagalnya memenangkan pileg, daya saing Golkar di Pemilu Presiden 2014 menjadi merosot. Faktanya, Golkar gagal mengusung calon, meski mandat untuk mengusung calon presiden telah di-downgrade menjadi calon wakil presiden.
Lobi politik sempat dilakukan dengan sejumlah partai, termasuk dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang berhasil membawa partainya sebagai "kampiun" di Pileg 2014. Tapi negosiasi buntu, dan Aburizal membawa Golkar sebagai partai pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Pilpres 2014.
Keputusan Aburizal mendukung Prabowo-Hatta lagi-lagi menuai kritik. Pada 14 Juli 2014, Aburizal membawa Golkar dalam deklarasi koalisi merah putih yang dipermanenkan di Tugu Proklamasi, Jakarta, bersama Partai Gerindra, PAN, PBB, PKS, PPP, dan Partai Demokrat.
Dengan keputusan tersebut, kritik pada Aburizal semakin membesar bahkan memunculkan gejolak setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2019.
Tokoh Golkar dari lintas generasi mengkritik Aburizal karena membawa Golkar dalam koalisi permanen dan menghujat arogansi Aburizal terkait pemecatan kader Golkar yang menentangnya. Namun, Aburizal justru menyatakan Golkar akan berada di luar pemerintahan untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Tokoh Golkar lintas generasi itu diisi oleh salah satu pendiri Golkar, Suhardiman, sejumlah tokoh senior Golkar seperti Fahmi Idris, Agung Laksono, Ginandjar Kartasasmita, dan beberapa tokoh muda Golkar yang salah satunya adalah Indra J Piliang.
Penolakan tokoh lintas generasi itu diwujudkan dengan mendesak Aburizal menggelar Musyawarah IX Partai Golkar pada 2014 untuk mengganti pucuk kepemimpinan dan kepengurusan partai. Pergantian kepemimpinan Golkar diharap dapat mengubah sikap politik untuk berbalik mendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Dalam posisi terdesak, Aburizal masih juga bisa berkelit dengan menggalang dukungan dari 30 Ketua DPD Golkar tingkat provinsi. Sebagaimana aturan partai, DPD provinsi dan kabupaten kota memiliki suara dalam munas dan desakan percepatan penyelenggaraan munas baru dapat dilakukan jika sedikitnya mendapat dukungan dari 2/3 perngurus daerah.
"Jumlah suaranya kan 33 provinsi, ditambah sekitar 540 kabupaten/kota. Jadi kalau suaranya cuma satu atau dua, itu enggak ada artinya," tepis Aburizal menyikapi kritik dari para koleganya itu.
Nyatanya, dukungan memang masih ada. Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Gandung Pardiman, misalnya, mendukung keputusan Aburizal. Bahkan Gandung sepakat pada sanksi pemecatan untuk kader Golkar yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Menurut Gandung, sanksi tegas layak diberikan karena kader tersebut tak mematuhi keputusan partai. "Yang mau keluar (dari keputusan partai) harus menanggalkan atribut partai," ujar Gandung.
Ketua DPD Golkar Provinsi Sulawesi Utara Ridwan Bae juga menyampaikan pendapat yang sama. Ia berharap Aburizal memberikan sanksi tegas pada semua kader Golkar yang tak mematuhi keputusan partai untuk berada di luar pemerintahan bersama koalisi merah putih.
"Bagi siapa saja yang melanggar aturan, yang tidak memenuhi keputusan DPP, Pak Aburizal saya harap berikan sanksi tegas pada mereka," ucap Ridwan.
Aburizal dan dua sejarah baru
Ketua Balitbang DPP Partai Golkar Indra J Piliang mengakui Aburizal masih sangat kuat di Golkar. Dia melihat tak ada pergeseran luar biasa di tubuh Golkar meski Mahkamah Konstitusi telah menolak seluruh permohonan Prabowo-Hatta terkait sengketa Pilpres 2014.
"Fakta politiknya memang Aburizal masih kuat. Kalau ada usaha dari kelompok lainnya, maka usahanya harus lebih keras," kata Indra. Namun, dia berpendapat pula bahwa arah politik Golkar tak akan berubah selama Aburizal masih menjadi ketua umumnya.
Indra bahkan mereka-reka ada keinginan Aburizal untuk kembali maju sebagai calon Ketua Umum Golkar. Dugaan itu ia sebut muncul karena posisi Golkar akan semakin kuat di antara partai lainnya, termasuk berpeluang memimpin koalisi merah putih yang telah dipermanenkan.
Jika skenario yang disebut Indra terbukti benar, maka Aburizal membuat dua sejarah baru untuk Golkar. Yaitu, Aburizal sebagai Ketua Umum Golkar yang untuk pertama kalinya membawa Golkar berada di luar kekuasaan, dan Aburizal sebagai figur yang berhasil menjadi ketua umum untuk dua periode.
"Seperti yang sering Aburizal katakan, politik itu kebenaran berwajah banyak, kebenaran politik itu tentang siapa yang menjadi pemenang," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.