Pemimpin baru
Melalui real count 22 Juli 2014, pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla ditetapkan secara resmi sebagai pemenang Pemilu Presiden 2014 sehingga lengkap sudah Lebaran kita. Di hari Lebaran kali ini tidak hanya pakaian, sarung, dan kopiah baru, tetapi juga jauh lebih penting dari itu adalah kepemimpinan yang menawarkan harapan baru. Dalam semangat kepemimpinan nasional itu, kita mengharapkan roh Idul Fitri tecermin dalam ruang bernegara, dalam tindakan politik hariannya.
Bukan sekadar ”pemimpin”, melainkan keduanya benar-benar tampil menjadi kepala negara yang tak disibukkan dengan bersolek diri demi memburu pencitraan, tetapi dipastikan bekerja penuh kesungguhan, bebas dari korupsi, dan upaya memperkaya diri sendiri.
Bukan sekadar menyusun kabinet semata demi menyenangkan kawan koalisi, melainkan menempatkan rakyat sebagai subjek utama seluruh kebijakan yang diambilnya.
Kita tidak lagi mendengar cerita negara absen karena tersandera kepentingan partai dan ormas tertentu, tetapi negara selalu hadir mendampingi kepentingan khalayak dalam semangat keragaman. Negara tidak boleh memihak, kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan.
Setelah negara ”merantau” selama 32 tahun Orde Baru dan 16 tahun Reformasi dengan rute membingungkan, sudah saatnya negara harus dikembalikan pada khitah ”kesuciannya” sehingga mampu mengantarkan warganya menemukan kesejahteraan (Ibnu Taimiyyah), keutamaan (Al-Farabi), kebebasan berkehendak (Nietzsche), kesetiaan memegang teguh etika (Kant), memasuki pengalaman religius Ibrahim (Soren Kierkegaard), terbuka dalam perbedaan (Empu Tantular), sekaligus menciptakan ruang demokrasi deliberatif untuk menciptakan medan musyawarah yang mengedepankan nalar diskursif dalam maqom kesetaraan (Habermas).
Setelah kegaduhan kampanye Pilpres 2014 yang membelah masyarakat dalam dua kelompok berbeda, kebencian, fitnah, dan dusta yang dirayakan sepanjang pesta demokrasi lima tahunan berlangsung, lewat Idul Fitri, saatnya semuanya dipersatukan kembali dalam lembaran semangat kebersamaan. Cita-cita luhur para pendiri bangsa sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 hanya bisa digapai manakala satu sama lain saling bersinergi.
Melalui Idul Fitri, kepemimpinan baru diharapkan mampu menghargai keragaman, bahkan masuk dalam pengalaman kemajemukan. Kemajemukan tidak lagi dijadikan sebagai ancaman, apalagi dibenturkan satu dengan lainnya dan negara hanya menjadi penonton seperti banyak terjadi dalam masa pemerintahan Yudhoyono, tetapi adalah modal sosial untuk menunjukkan bahwa kebesaran negeri ini dibangun lewat uluran banyak tangan.
Justru keterpilihan Jokowi-Jusuf Kalla karena massa punya preferensi bahwa keduanya di samping menjanjikan ”revolusi mental” yang menjadi kunci pembenahan sengkarut negeri kepulauan, juga dapat memberikan jaminan hidup berbangsa yang toleran, berdaulat, sekaligus dapat memasuki alam pikiran dan aspirasi segenap masyarakatnya.
Dan, akhirnya ”Indonesia Hebat” bukan sekadar jargon, tetapi menjadi bagian sejarah pengalaman keseharian. Selamat berlebaran. Mohon maaf lahir dan batin.
Asep Salahudin
Peneliti Lakpesdam PWNU Jawa Barat; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren Suryalaya, Tasikmalaya