Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siap untuk Menang

Kompas.com - 10/07/2014, 08:41 WIB

Oleh Taufik Ikram Jamil

KOMPAS.com - Sejumlah orang mungkin tertawa membaca judul tulisan ini ”Siap untuk Menang”. Hari ini, kita melaksanakan pesta demokrasi dan berharap yang baik akan menang. Sesungguhnya, perkara siap menang memang senantiasa disetalikan dengan siap kalah. Namun, senantiasa dikedepankan dan diwanti-wanti umumnya seruan siap kalah, bukan siap menang.

Pasalnya jelas. Kekalahan suatu kelompok dapat menjadi ancaman temporer dan permanen. Pihak yang kalah, misalnya, tidak mengakui kekalahannya sehingga tersulut kemarahan sampai melakukan tindakan anarkistis.

Bukan mustahil apabila tindakan tersebut berdampak lebih jauh, yakni bercerai-berainya kehidupan berbangsa yang telah dibangun sekian lama.

Tentu saja, penerimaan terhadap kekalahan tersebut terlepas dari apakah dikalahkan secara riil atau melalui rekayasa pihak lawan.

Secara riil karena memang sebagian besar rakyat tidak mau memilih sosok tertentu, malahan sebaliknya. Sementara kekalahan yang direkayasa adalah bagaimana suatu kelompok telah berbuat curang seperti membeli suara, memanipulasi suara, dan sejenis dengannya, sehingga memperoleh dukungan lebih besar.

Pastilah yang disebut siap kalah adalah menerima orang lain sebagai pemenang. Walaupun agak naif, patutlah diarifi bahwa dalam suatu pertarungan, kesiapsediaan dikalahkan secara tidak jujur, menjadi bagian dari kemampuan menerima kekalahan itu.

Suatu pernyataan yang amat disayangkan, tetapi begitu akrab terdengar di tengah masyarakat tentang kalimat yang berbunyi, ”Sedang tak jujur saja sulit menang, apalagi jujur….”

Menggelincirkan

Syahdan, menjadi pihak yang kalah sebenarnya menghadapi sesuatu yang jelas. Oleh karena itu, mengantisipasinya pun memiliki dasar-dasar yang terukur.

Jalur hukum yang dilakukan secara tegas, misalnya, merupakan senjata ampuh untuk menetralisir keadaan.

Pada tingkat yang genting, kenetralan penegak hukum dan aparat keamanan amat menentukan untuk ”mengawal” kekalahan agar tidak menjadi ajang kontraproduktif berkepanjangan.

Tidak demikian halnya dengan siap untuk menang. Tanpa berpanjang lebar, memadailah untuk disebutkan bahwa bukankah berbagai kasus yang menimpa pejabat di Tanah Air ini diawali oleh kemenangan yang mereka peroleh sebelumnya?

Dengan kemenangan, mereka memperoleh kuasa yang ajaran tradisi saja menyebutkan bahwa kekuasaan mampu menggelincirkan seseorang ke tempat terburuk selain harta dan wanita. Ketiga unsur ini malahan menyatu sebagai dampak dari suatu kemenangan.

Apakah Anas Urbaningrum, misalnya, akan menghadapi kasus Hambalang yang kini dalam persidangan apabila sebelumnya ia tidak memperoleh kemenangan dengan meraih kursi Ketua Umum Partai Demokrat?

Padahal, dapat dipastikan bahwa posisi petinggi partai berkuasa tersebut sama sekali tidak merekomendasikan perbuatan yang didakwakan KPK terhadapnya.

Soekarno akhirnya turun setelah semua kuasa berada di tangannya sekitar 20 tahun, hanya sekali melakukan pemilu (1955). Demikian juga Soeharto meliputi waktu 30 tahun.

Dalam dua masa ini, setidak-tidaknya dapat terbaca bahwa bagaimanapun mereka berkeinginan terus menjadi pemenang dengan mengenyampingkan konstitusi, melumpuhkan hak demokrasi yang sama sekali tidak diinginkan oleh keberadaan sebuah negara.

Harus diusahakan

Kita belum tahu bagaimana akhir kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, dengan memperhatikan begitu banyaknya kader Partai Demokrat yang terlibat korupsi, sedikit-banyaknya telah memperlihatkan ketidaksiapan untuk menang. Belum lagi kasus Hambalang dan Bank Century, misalnya, yang menyebut-nyebut nama keluarga inti SBY.

Jadi, siap untuk menang adalah upaya, baik pribadi maupun kelompok, untuk melaksanakan amanat bangsa.

Godaannya amat banyak dan dari berbagai sisi yang semuanya menyebabkan tantangan dari suatu kemenangan amatlah kabur, tidak tantangan bagi yang kalah.

Kembali pepatah lama yang umum dikenal dapat ditarik untuk mengalasi kesimpulan ini bahwa semakin tinggi suatu pohon, semakin kuat pula diterpa angin.

Mengacu pada pengalaman bernegara, mulai dari Soekarno sampai SBY, rasanya siap untuk memang tidak begitu mudah diwujudkan betapapun harus diusahakan, betapapun sederhana kedengarannya. Baik Prabowo Subianto maupun Joko Widodo (disebut berdasarkan nomor urut) harus membuktikan bahwa mereka bisa diandalkan untuk itu.

Sementara tidak sedikit masyarakat yang merindukan bagaimana penggantian presiden lima atau sepuluh tahun mendatang dilakukan tanpa pejabat nomor satu itu dililit masalah intern ataupun ekstern.

Tidak menghadapi kader partai yang amburadul dan diri sendiri ataupun keluarga yang terancam masalah hukum, apalagi sampai ternista seperti dialami Soekarno dan Soeharto.

Ya, bagaimana George HW Bush menyerahkan kekuasaan kepada Bill Clinton, kemudian kepada Barack Obama, di AS sana, begitu kira-kira kerinduan masyarakat tersebut. Tanpa gejolak intern ataupun ekstern, apalagi sampai kudeta, baik kasar maupun halus. Semoga….

Taufik Ikram Jamil
Sastrawan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Jokowi Resmikan 40 Kilometer Jalan Inpres Senilai Rp 211 Miliar di NTB

Nasional
Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Jokowi Akan Resmikan Bendungan dan Panen Jagung di NTB Hari ini

Nasional
Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal 'Food Estate'

Meski Isyaratkan Merapat ke KIM, Cak Imin Tetap Ingin Mendebat Prabowo soal "Food Estate"

Nasional
Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Setelah Jokowi Tak Lagi Dianggap sebagai Kader PDI-P...

Nasional
Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Pengertian Lembaga Sosial Desa dan Jenisnya

Nasional
Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Prediksi soal Kabinet Prabowo-Gibran: Menteri Triumvirat Tak Diberi ke Parpol

Nasional
Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Jokowi Dianggap Jadi Tembok Tebal yang Halangi PDI-P ke Prabowo, Gerindra Bantah

Nasional
Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Soal Kemungkinan Ajak Megawati Susun Kabinet, TKN: Pak Prabowo dan Mas Gibran Tahu yang Terbaik

Nasional
PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

PKS Siap Gabung, Gerindra Tegaskan Prabowo Selalu Buka Pintu

Nasional
PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

PKB Jaring Bakal Calon Kepala Daerah untuk Pilkada 2024, Salah Satunya Edy Rahmayadi

Nasional
Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Saat Cak Imin Berkelakar soal Hanif Dhakiri Jadi Menteri di Kabinet Prabowo...

Nasional
Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Nasional
Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com