Sebagian pemimpin buruh mulai menyadari bahwa pendekatan ”langsung”, seperti tuntutan kenaikan upah tinggi, tidak selamanya bisa dilakukan karena itu membutuhkan tenaga dan stamina gerakan yang amat besar. Sementara basis politik mereka sendiri masih lemah.
Untuk itulah, sebagian serikat buruh mulai masuk ke dalam percaturan politik praktis melalui pemilu dengan mengirimkan kader-kadernya sebagai calon anggota legislatif dari berbagai parpol yang ada. Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), misalnya, mendorong perjuangan ”buruh go politik”. Melalui cabangnya di beberapa kota industri, mereka terlibat aktif secara organisasional dalam kampanye untuk caleg dari buruh lewat berbagai parpol yang ada.
Mereka menginstruksikan anggotanya untuk memilih hanya calon mereka sendiri, dikombinasi dengan pelatihan pemilih dan relawan ”go politik” di kantong-kantong buruh di Bekasi. Melibatkan bukan hanya buruh, melainkan juga LSM seperti Trade Union Rights Centre, Omah Tani Batang, dan Fakultas Fisipol Universitas Gadjah Mada untuk mendukung dengan pelatihan.
Meski sebagian besar calon mereka gagal masuk parlemen, praktis dengan hanya mengandalkan kekuatan suara anggota di tengah politik uang yang merajalela, FSPMI berhasil memasukkan dua caleg dari buruh ke DPRD Kabupaten Bekasi melalui Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Bila melihat rekam jejak keduanya dan organisasi mereka, kehadiran kedua caleg ini rasanya akan membawa pengaruh amat berbeda pada percaturan politik lokal nantinya. Ini akan menjadi catatan sejarah tersendiri.
Gerakan buruh—berkat keberhasilannya menampilkan diri sebagai sebuah kekuatan alternatif di luar oligarki politik yang sudah ada, khususnya dengan keberhasilan mereka melaksanakan dua kali mogok nasional—tampaknya mulai jadi sasaran parpol ataupun capres untuk didekati dan diminta dukungannya.
Cepat atau lambat, seiring meningkatnya pamor buruh berkat ”go politik” ini, buruh akan mulai dihadapkan pada pilihan-pilihan politik. Itu hal wajar dan bahkan patut disyukuri sehingga proses pendewasaan gerakan juga dapat diolah dan dilatih. Dalam menghadapi pilihan-pilihan politik itu, peran pemimpin jadi penting. Pemimpin buruh diharapkan mempertimbangkan masukan para kolega, termasuk para pengkritiknya, aspirasi anggota, serta memiliki kesadaran hati nurani sebagai pemimpin.
Pemimpin menjadi pemimpin karena ia bisa dan berani memutuskan. Pemimpin tidak selamanya harus mengikuti masukan orang lain, tetapi ia juga tidak boleh melupakan perannya yang utama, yaitu mendidik dirinya sendiri serta kolega dan anggota, untuk makin dewasa dan cerdas secara politik.
Persoalannya, setiap pilihan, apalagi yang menyangkut kepentingan publik (seperti buruh dan rakyat), bisa salah bisa juga benar. Banyak faktor yang menentukan sejarah kita. Dan, dari pilihan-pilihan itu–baik atau buruk, tepat atau keliru–kita belajar jadi lebih bijaksana juga secara politik.
Untuk menjadi kekuatan politik alternatif yang diperhitungkan dan dibutuhkan negeri ini di waktu-waktu mendatang, tak ada pilihan, buruh kembali akan (harus) bersatu.
(SURYA TJANDRA, Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.