KOMPAS.com - INDONESIA harus diurus oleh orang baik: bersih dan kompeten. Republik ini didirikan oleh para pemberani: kaum terdidik yang sudah selesai dengan dirinya. Efeknya dahsyat.
Bung Karno dan generasinya membuat sebangsa bergerak. Semua merasa ikut punya Indonesia. Semua beriuran tanpa syarat demi tegaknya bangsa merdeka dan berdaulat. Ada yang beriuran tenaga, pikiran, uang, barang, dan termasuk nyawa. Namun, merdeka itu bukan cuma soal menggulung kolonialisme. Merdeka adalah juga soal menggelar kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Kini kepada siapa republik ini akan dititipkan untuk diurus? Semua yang terpilih dalam pemilu tahun ini akan mengatasnamakan kita semua selama lima tahun ke depan. Semua perkataan dan perbuatan yang dilakukan atas nama kita semua. Semua UU dan peraturan daerah yang dibuat akan mengikat kita semua.
Kebangkitan ”wong waras”
Saat tantangan bangsa ini masih banyak yang mendasar, seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, transportasi, dan energi, maka—apa pun partainya—tantangan yang harus dijawab sama. Saat hambatan terbesar negeri ini adalah korupsi dan hulu korupsi adalah urusan kekuasaan, maka apa pun partainya akan berhadapan dengan otot kokoh koruptor yang sama.
Pemilu ini bukan soal warna partai. Ini soal orang bermasalah dan tak bermasalah. Orang bermasalah ada di berbagai partai. Begitu juga orang baik tersebar di semua partai. Pemilu harus jadi ajang kompetisi orang tak bermasalah, orang baik lawan orang bermasalah. Kita harus memastikan bahwa orang yang terpilih akan hadir untuk mengurus bukan menguras negara. Ini pemilu keempat di era demokrasi, sudah saatnya menjadi ajang kebangkitan wong waras, kebangkitan orang bersih, dan jadi penghabisan orang bermasalah.
Indonesia membutuhkan kemenangan orang baik. Kita perlu orang bersih dan kompeten berbondong-bondong menang dalam pemilu. Persyaratan utama bagi orang-orang baik untuk kalah dan tumbang dalam pemilu adalah orang-orang baik lainnya hanya menonton dan tak membantu. Ironisnya, Indonesia kini penuh dengan penonton: ingin orang baik menang di pemilu, ingin Indonesia jadi lebih baik, tetapi hanya mau beriuran harap, beriuran angan. Ada keengganan kolektif untuk terlibat, untuk membantu.
Keengganan dan skeptisisme itu sering dilandasi pandangan: buat apa membantu, toh orang-orang baik justru terjerat korupsi. Ini seperti urusan sepatu kotor. Buat apa membersihkan sepatu, toh bisa terkotori lagi. Namun, jika dibersihkan secara rutin, dipakai dengan baik, dijaga dari cipratan kotor, sepatu itu akan aman, akan bersih. Kalaupun terkotori, tugas kita adalah memastikan bahwa sepatu itu rutin dibersihkan.
Di republik ini, tugas kita adalah lima tahun sekali membersihkan pengurus Indonesia dan mengisinya dengan orang-orang tak bermasalah. Kalaupun ada yang terkena masalah, biar diganjar hukuman dan kita ganti. Lalu setiap 5 tahun kita ”kirim” orang baik lagi.
Sejak kapan kita jadi bangsa yang suka putus asa? Tugas kita adalah menyuplai orang baik terus-menerus. Kita harus menjaga stamina, perjalanan bangsa ini masih amat panjang, dan stok orang baik di republik ini masih amat banyak. Tak ada alasan untuk pamer keluh kesah dan nglokro.
Kita bersyukur saat melihat ada orang baik mau repot-repot masuk politik. Lihat, bermunculan orang-orang baik yang terpilih menjadi gubernur, bupati, wali kota ataupun anggota dewan perwakilan. Makin panjang deretan nama orang bersih dan kompeten, orang baik yang terpanggil, dan mau turun tangan. Namun, mereka semua hanya bisa menang, memegang otoritas, jika orang baik lainnya bersedia untuk terlibat dan membantu.
Permasalahan yang dihadapi, begitu banyak orang baik yang jadi caleg adalah mereka cenderung dijauhi. Yang menjauhi sering justru lingkungan terdekatnya. Politik di Indonesia hari ini amat rendah nilainya di depan publik. Korupsi yang dilakukan oleh para politisi telah merendahkan makna politik dan politisi.
Politik dan politisi tidak lagi dipandang sebagai arena perjuangan dan pejuang. Kerja politik dipandang sebagai mata pencaharian dan segalanya harus dirupiahkan. Para calon yang baik itu tergerus oleh opini bahwa semua calon itu sama: sekadar cari kuasa untuk menguras—bukan untuk mengurus—negeri. Orang baik pun makin sedikit yang mau turun tangan. Makin sedikit orang baik yang ”siap” dituding sama dengan kelakuan para penguras negeri.
Jika orang-orang baik hanya mau jadi pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang akan mengatur penggunaan uang pajak kita? Keputusan soal kesehatan, pendidikan, perumahan, dan tenaga kerja, misalnya, adalah keputusan politik. Di arena yang oleh publik dipandang rendah, kotor dan tak bernilai itulah keputusan tentang hajat hidup orang serepublik ini dibuat. Patutkah kita diamkan?
Masih adakah caleg baik? Ya, Indonesia masih punya stok orang baik: orang bersih dan kompeten. Namun, mereka tidak akan bisa menang, mendapatkan otoritas untuk mengatasnamakan kita, untuk mewakili kita, jika kita semua tidak ikut membantu. Sekali lagi, korupsi dalam politik itu merajalela bukan semata-mata karena orang jahat berjumlah banyak, melainkan karena orang-orang baik memilih diam, mendiamkan, dan bahkan menjauhi.