Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/04/2014, 21:51 WIB
Catatan Kaki Jodhi Yudono

Seusai pesta, ada yang tertawa bahagia karena menjadi bintang dan bersinar di panggung pesta. Tapi ada juga yang biasa-biasa saja, sebab dirinya hanya menjadi peserta pesta biasa, menonjol tidak, terpuruk juga tidak. Tapi lihatlah, ada juga yang guling-guling sambil meraung-raung, sebab dirinya sama sekali tidak dianggap dalam pesta itu, dia terpuruk menyesali nasibnya yang malang.

Begitu pula yang tampak pada pesta demokrasi yang baru berlangsung di negeri ini pada 9 April lalu. Meski tak beroleh suara yang meyakinkan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) berjaya dan membuat senyum terbit dari bibir Megawati dan Puan Maharani saat keduanya mengadakan jumpa pers untuk mengumumkan kemenangan atas partai yang dipimpinnya. Mega dan Puan memang pantas tersenyum. Maklumlah, selama sepuluh tahun, partai berlambang kepala banteng itu harus berada di luar gelanggang pemerintahan republik ini.

Senyum tertahan juga nampak pada para pendukung Partai Gerindra. Meski tidak jadi juara, perolehan suara partai berlambang garuda itu naik hingga 160 persen. Demikian juga suara Partai Kebangkitan Bangsa yang juga naik. Lantas, ada pula Partai Nasdem yang baru jadi peserta pemilu, tapi sudah melibas peserta pemilu lama semacam PPP, Hanura, Bulan Bintang, dan PKPI.

Sementara itu, Partai Demokrat, yang pada Pemilu 2009 menjadi juara, pada pemilu kali ini mesti tersungkur lantaran hanya beroleh suara sekitar 10 persen. Perolehan angka yang kecil tersebut rasanya seperti badai yang menyapu kegarangan kader-kadernya, semacam Ruhut Sitompul, Sutan Bhatoegana, dan nama lainnya yang sebelum pemilu digelar nada bicaranya sangat optimistis bakal beroleh suara yang signifikan.

Begitulah, sebanyak 200.000 calon anggota legislatif, baik untuk Dewan Perwakilan Rakyat RI, DPR daerah tingkat I, DPRD tingkat II, maupun DPD pada 9 April 2014 memperebutkan 19.699 kursi yang tersedia. Mereka berlomba memperebutkan jumlah pemilih dalam Pemilu 2014 yang diperkirakan mencapai 185 juta orang.

Itu artinya ada lebih kurang 90 persen atau sekitar 180.000 caleg yang berpotensi gagal meraih kursi di parlemen. Itu artinya, hanya 10 persen caleg yang menikmati kemenangan dalam pesta demokrasi kemarin. Sementara yang lain, sebagian ada yang mengaku legowo dan ikhlas menerima nasib gagal menjadi anggota Dewan. Sebagian lagi terus bertanya kepada siapa saja, termasuk kepada Tuhan, tentang upayanya yang sudah habis-habisan, dan golongan terakhir adalah mereka yang kehabisan akal dan kehilangan kata-kata.

Jika menengok fakta pada Pemilu 2009 lalu misalnya, Kementerian Kesehatan melansir ada 7.736 caleg yang stres karena gagal menjadi anggota Dewan. Rinciannya, caleg untuk DPR RI sebanyak 49 orang, DPRD I sebanyak 496 orang, caleg DPD sebanyak 4 orang, dan caleg DPRD II sebanyak 6.827 orang.

Kala itu, tingkah polah para caleg stres beraneka rupa. Ada yang selalu mengucapkan naskah Pembukaan UUD 1945. Di Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat misalnya, setelah gagal terpilih, seorang caleg menarik kembali bantuan sebuah mesin genset yang disumbangkannya ke masjid. Tak hanya itu, dia juga menarik bantuan dana sebesar Rp 1 juta yang disumbangkannya ke dua mushala. Sementara di Bogor, Jawa Barat, seorang caleg menarik kembali ratusan buku tabungan yang masing-masing berisi senilai Rp 50.000. Buku tersebut dibagikan saat kampanye di Kampung Muara, Kelurahan Pasirjaya, Kecamatan Bogor Barat. Buku tabungan ditarik setelah perolehan suara si caleg di daerah tersebut tak lebih dari 10 persen. Lalu bagaimana dengan Pemilu 2014 ini?

Wakil Ketua Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Ari Fahrial Syam dalam keterangan tertulisnya memprediksi, fenomena caleg stres masih akan membayangi pemilu tahun ini.

"Pada Pemilu 2014, tampaknya angka tersebut tidak akan bergeser banyak karena yang gagal jadi caleg juga bisa mencapai angka 180.000 orang. Kekecewaan pasti dialami oleh sebagian mereka yang gagal tersebut," kata Ari Fahrial Syam.

Seperti yang diduga oleh Ari Fahrial Syam, gejala caleg stres pun mulai tampak. Seorang kawan dari Tasikmalaya mengabarkan, seorang caleg sampai pukul 11.00 malam dengan setia mengikuti penghitungan suara di sebuah TPS. Mendadak caleg itu marah-marah dan minta penghitungan ulang. Caleg itu berkata, "Saya sudah menyumbang sarung banyak kemarin sama warga." Walhasil, penghitungan suara pun diulang kembali. Hasilnya tetap tak berubah. Si caleg yang rupanya stres itu hanya beroleh empat suara.

Di Cirebon, ada caleg W yang stres karena kalah suara. Dia pun menyalahkan partai serta para pendukungnya. Di Sidoarjo, caleg stres juga sudah mulai berdatangan ke rumah sakit.

***

Seusai pesta demokrasi, apa lagi yang tersisa? Seorang teman menjawab, "Nggak ada yang tersisa, bahkan bekas tinta pun telah hilang setelah dicuci sekali dengan air sabun."

"Ente salah. Kalau tintanya gampang dihapus, itu tandanya sisanya pasti sangat banyak," kata saya.
"Maksud lo?"
"Sisa keuntungan yang diperoleh saudagar tinta pasti banyak banget tuh, lantaran kualitas tinta yang jelek mutunya," ujar saya.

"Baiklah, lantas apa lagi yang sisa?" tanya kawan saya yang bernama Iskandar itu.

Saya pun bilang. Banyak... banyak banget. Mereka yang stres karena gagal menjadi anggota Dewan, mereka yang bungah karena terpilih sebagai anggota Dewan, mereka yang meraup keuntungan setelah menjadi rekanan Komisi Pemilihan Umum, mereka yang sedang ribut membicarakan efek Jokowi yang kalah dari efek Prabowo atau efek Rhoma Irama yang telah mendongkrak perolehan PKB.

"Terus apa lagi yang tersisa?" Iskandar masih penasaran.

Saya pun pura-pura berpikir keras. Lalu, spontan saya bilang, yang tersisa saat ini adalah kasak-kusuk untuk berkoalisi.

"Terus apa lagi?"

"Kita siap-siap menyaksikan para kutu loncat yang akan berpindah partai karena partai yang lama dinilai tidak menguntungkan lagi."

"Omong-omong, apa kabarnya Farhat ya?"

"Meneketehe (mana kutahu). Kabarnya sih dia sudah siap untuk tidak jadi gila jika tak terpilih jadi anggota Dewan," kata saya.

"Kuat sekali dia ya mentalnya."

"Untuk urusan caleg, dia mengaku tahan."

"Emang Si Farhat punya kelemahan? Yang kutahu mental dia kuat sekali, dikeroyok oleh banyak orang, dia tetap cool...."

"Ada kelemahannya. Kata Farhat, dia bisa gila kalau putus cinta! Nih masih kusimpan kicauannya. 'Yang sedih dan bisa gila itu jika gagal karena cinta, bukan gagal caleg. Gagal cinta gila seratus juta, gagal cinta nganggur, dan gila,' tulis Farhat dalam akun Twitternya, ‏@farhatabbaslaw, Kamis (10/4/2014)."

"Ha-ha-ha...."

"Kenapa tertawa?"

"Farhat ternyata masih tetap...."

"Tetap apa?"

"Tetap unyu-unyu...."

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com