Nurhayati juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi ikut melakukan pencegahan atas politik uang. Seharusnya wakil rakyat yang terpilih adalah mereka yang benar-benar mengabdi untuk masyarakat, bukan karena politik uang dan memiliki kemampuan finansial saja.
Transaksi mencurigakan meningkat
Politik uang mengarah pada adanya peningkatan transaksi mencurigakan menjelang tahapan kampanye pemilu legislatif. Menurut Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso, berdasarkan riset menjelang pemilu peningkatannya 125 persen. "Tetapi, untuk bulan ini (Maret) kita masih melihat peningkatannya itu 40 persen," katanya.
Transaksi mencurigakan itu terlihat dari profil dan pola transaksi yang terjadi. "Kategori mencurigakan itu yang di luar profil dan di luar pola transaksi," katanya.
Dari sejumlah transaksi mencurigakan itu, terdapat setoran calon anggota legislatif dalam jumlah besar kepada pengurus partai. Ada juga dana pengusaha ke pengurus partai.
Terkait dengan politik uang yang gencar terjadi menjelang Pemilu 2014 ini, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto berujar, "boleh saja terima uang asal coblos sesuai pilihan hati."
Menurut dia, partainya tak akan memaksa masyarakat untuk memilih partai berlambang kepala garuda itu dalam pemilihan nanti. "Kami mau terapkan salah satu slogan Pemilu 2014, yaitu bersih dan jujur. Jadi kami tidak paksakan pilihan kepada publik, termasuk kepada kader kami," ujarnya.
Prabowo juga berharap semua kader tak menjual suaranya dalam pemilu nanti. "Soalnya, republik ini bisa dibeli. Hampir semua aktivitas dan pekerjaan di Indonesia bisa dibeli," katanya.
Dia justru memastikan bakal mengusir kader partainya yang melakukan korupsi. "Seandainya ada kader Gerindra yang berwatak maling, silakan hengkang! Kami tidak mau menerima kaum koruptor, karena kami berkeinginan menghilangkan semua koruptor dari republik ini," ucap Prabowo.
Politik uang tak ampuh
Di tengah maraknya politik uang muncul pertanyaan apakah praktik yang dilakukan para kandidat itu sejalan dengan hasil pemilihan umum? Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Korupsi Politik Donal Fariz menjawab tidak. Dari hasil survei, kata dia, ternyata hanya 18,1 persen masyarakat yang terpengaruh dengan uang yang diberikan para caleg.
Sementara 42,8 persen akan memilih sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan, katanya, angka yang cukup mencengangkan, sebanyak 21,1 persen pemilih tidak akan memilih kandidat yang melakukan politik uang.
Di luar survei tersebut, realitas yang ditemukan oleh ICW dalam pemantauan Pemilu 2009 dan beberapa pilkada juga menunjukkan fenomena identik bahwa politik uang tidak sejalan dengan hasil pemilihan. Petahanan yang melipatgandakan alokasi bantuan sosial dalam pemilu tidak serta-merta berhasil menang, baik dalam pemilu maupun pilkada.
Publik saat ini semakin paham bahwa kandidat yang melakukan politik uang sangat berpotensi melakukan korupsi. "Maka, kita saat ini sangat mafhum mendengar anekdot warga, 'Terima uangnya, jangan pilih orangnya'," katanya.
Seperti kata Donal, setidaknya ada dua pelajaran penting yang harus dipahami para kandidat dalam pemilu mendatang. Pertama, masyarakat sudah semakin "melek politik". Walaupun diberi uang atau sogokan dalam berbagai bentuk, masyarakat relatif tetap memilih kandidat sesuai dengan keinginannya. Uang hanya memengaruhi sebagian kecil kelompok.
Kedua, uang suap kandidat sering kali "menguap". Yang kenyang justru sering kali tim sukses atau lembaga survei. Saat ini tidak ada lagi jaminan bahwa yang memberi uang akan dipilih oleh rakyat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.