Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ampuhkah Politik Uang?

Kompas.com - 06/04/2014, 10:14 WIB


DEPOK, KOMPAS.com
- Para peserta kampanye terbuka berdesakan di depan panggung di salah satu lapangan di Sumatera Utara sambil mengulurkan tangan mereka. Ketika itu, seorang calon anggota legislatif, tokoh sebuah parpol, beserta beberapa pendukungnya bernyanyi dan berjoget sambil membagi-bagikan uang saat kampanye menjelang pemilu legislatif.

Praktik politik uang dalam pemilu, meskipun hal itu adalah pelanggaran, sudah bukan rahasia lagi. Hasil survei bahkan menunjukkan, mayoritas publik mengaku bersedia menerima pemberian uang dari para caleg atau partai politik.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Nasional, Umar S. Bakry, seperti dikutip dari Antara, sebanyak 69,1 persen responden mengaku bersedia menerima pemberian uang dari caleg atau parpol dalam Pemilu 2014, dengan alasan berbeda-beda. Padahal pada Pemilu 2009, survei LSN mengenai politik uang menunjukkan masih kurang dari 40 persen publik yang bersedia menerima pemberian uang dari caleg atau parpol.

Besarnya persentase responden yang bersedia menerima pemberian uang merupakan indikator nyata bahwa potensi politik uang dalam Pemilu 2014 sangat tinggi. Sikap mayoritas publik merupakan potensi bagi mudahnya terjadi politik uang sebagai instrumen untuk mendulang suara.

Memang, sebanyak 41,5 persen responden menyatakan, meskipun bersedia menerima uang, tetapi tidak akan memengaruhi pilihannya. "Namun, dengan sikap seperti ini, sama saja mereka sudah membuka pintu lebar-lebar bagi berkembangnya politik uang," kata Umar.

Dia berpendapat, sikap permisif masyarakat terhadap politik uang merupakan produk dari politik transaksional yang marak dilakukan oleh para caleg dan calon kepala daerah sejak berlakunya era pemilihan langsung. Dengan meraih 5 atau 10 ribu suara saja, caleg sudah bisa mendapat kursi DPRD. Karena itu mereka memilih jalan pintas politik uang.

Di Jawa Barat, Badan Pengawas Pemilu menemukan 22 kasus dugaan pelanggaran politik uang yang dilakukan dalam rentang waktu 16 Maret hingga 27 Maret 2014. Ketua Bawaslu Jabar, Harminus Koto menyebutkan, kasus dugaan politik uang itu terjadi di 13 kabupaten/kota di Jabar.

Kasus terbanyak ditemukan di Kabupaten Ciamis (tujuh kasus), disusul Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung, dan Kota Bekasi dengan masing masing dua kasus. Sisanya terjadi di Kabupaten Karawang, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur, Kota Sukabumi, dan Kabupaten Cirebon.

Partai Amanat Nasional menjadi yang paling banyak terjerat pelanggaran ini dengan lima kasus. Diikuti Golkar dan PDI-P dengan empat kasus, Nasdem tiga kasus, dan Gerindra dua kasus. Sisanya, yakni PKS, Demokrat, Hanura, dan PBB dengan masing-masing satu kasus. Semua kasus dugaan politik uang itu masih di proses di Bawaslu kabupaten/kota.

Setiap kasus memiliki batas kedaluwarsa tujuh hari sejak dilaporkan. Waktu tersebut digunakan untuk penelusuran, kemudian dikaji di tingkat Gakumdu. Jika memenuhi unsur pelanggaran, maka akan diteruskan ke kepolisian dengan jatah waktu maksimal 14 hari. Pelaku akan dijerat dengan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.

Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Malang menemukan praktik politik uang dalam kampanye terbuka Partai Demokrat oleh seorang caleg nomor urut 1 daerah pemilihan Kecamatan Kepanjen, Pagelaran, Bululawang, dan Kecamatan Gondanglegi.

Menurut George Da Silva dari Divisi Penangangan dan Penindakan Pelanggaran Pemilu Panwaslu Kabupaten Malang, praktik politik uang tersebut berupa bagi-bagi uang Rp 20.000 kepada para simpatisan di lokasi kampanye terbuka.

Panwaslu mengamankan barang bukti berupa dua lembar uang pecahan Rp 10.000, satu kaus, dan satu stiker bergambar caleg. "Dengan bukti yang kami miliki itu kampanye Partai Demokrat jelas melanggar Pasal 86 ayat (1) huruf (j) tentang menjanjikan atau memberi uang atau materi lain ke peserta lain dengan ancaman hukuman dua tahun dengan denda Rp 24 juta," ujarnya.

Padahal awal Maret, Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI, Nurhayati Ali Assegaf meminta semua pihak mengawasi praktik politik uang pada Pemilu 2014 dan berharap publik ikut mengawasi jika ada calon legislator Demokrat yang terlibat dalam politik uang.

"Panwaslu mengawasi dan bisa memberi sanksi didiskualifikasi," katanya.

Nurhayati juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi ikut melakukan pencegahan atas politik uang. Seharusnya wakil rakyat yang terpilih adalah mereka yang benar-benar mengabdi untuk masyarakat, bukan karena politik uang dan memiliki kemampuan finansial saja.

Transaksi mencurigakan meningkat

Politik uang mengarah pada adanya peningkatan transaksi mencurigakan menjelang tahapan kampanye pemilu legislatif. Menurut Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso, berdasarkan riset menjelang pemilu peningkatannya 125 persen. "Tetapi, untuk bulan ini (Maret) kita masih melihat peningkatannya itu 40 persen," katanya.

Transaksi mencurigakan itu terlihat dari profil dan pola transaksi yang terjadi. "Kategori mencurigakan itu yang di luar profil dan di luar pola transaksi," katanya.

Dari sejumlah transaksi mencurigakan itu, terdapat setoran calon anggota legislatif dalam jumlah besar kepada pengurus partai. Ada juga dana pengusaha ke pengurus partai.

Terkait dengan politik uang yang gencar terjadi menjelang Pemilu 2014 ini, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto berujar, "boleh saja terima uang asal coblos sesuai pilihan hati."

Menurut dia, partainya tak akan memaksa masyarakat untuk memilih partai berlambang kepala garuda itu dalam pemilihan nanti. "Kami mau terapkan salah satu slogan Pemilu 2014, yaitu bersih dan jujur. Jadi kami tidak paksakan pilihan kepada publik, termasuk kepada kader kami," ujarnya.

Prabowo juga berharap semua kader tak menjual suaranya dalam pemilu nanti. "Soalnya, republik ini bisa dibeli. Hampir semua aktivitas dan pekerjaan di Indonesia bisa dibeli," katanya.

Dia justru memastikan bakal mengusir kader partainya yang melakukan korupsi. "Seandainya ada kader Gerindra yang berwatak maling, silakan hengkang! Kami tidak mau menerima kaum koruptor, karena kami berkeinginan menghilangkan semua koruptor dari republik ini," ucap Prabowo.

Politik uang tak ampuh

Di tengah maraknya politik uang muncul pertanyaan apakah praktik yang dilakukan para kandidat itu sejalan dengan hasil pemilihan umum? Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Korupsi Politik Donal Fariz menjawab tidak. Dari hasil survei, kata dia, ternyata hanya 18,1 persen masyarakat yang terpengaruh dengan uang yang diberikan para caleg.

Sementara 42,8 persen akan memilih sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan, katanya, angka yang cukup mencengangkan, sebanyak 21,1 persen pemilih tidak akan memilih kandidat yang melakukan politik uang.

Di luar survei tersebut, realitas yang ditemukan oleh ICW dalam pemantauan Pemilu 2009 dan beberapa pilkada juga menunjukkan fenomena identik bahwa politik uang tidak sejalan dengan hasil pemilihan. Petahanan yang melipatgandakan alokasi bantuan sosial dalam pemilu tidak serta-merta berhasil menang, baik dalam pemilu maupun pilkada.

Publik saat ini semakin paham bahwa kandidat yang melakukan politik uang sangat berpotensi melakukan korupsi. "Maka, kita saat ini sangat mafhum mendengar anekdot warga, 'Terima uangnya, jangan pilih orangnya'," katanya.

Seperti kata Donal, setidaknya ada dua pelajaran penting yang harus dipahami para kandidat dalam pemilu mendatang. Pertama, masyarakat sudah semakin "melek politik". Walaupun diberi uang atau sogokan dalam berbagai bentuk, masyarakat relatif tetap memilih kandidat sesuai dengan keinginannya. Uang hanya memengaruhi sebagian kecil kelompok.

Kedua, uang suap kandidat sering kali "menguap". Yang kenyang justru sering kali tim sukses atau lembaga survei. Saat ini tidak ada lagi jaminan bahwa yang memberi uang akan dipilih oleh rakyat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

Nasional
Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Nasional
Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Nasional
Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Nasional
Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Nasional
KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat 'Presidential Club'

Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat "Presidential Club"

Nasional
'Presidential Club' Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

"Presidential Club" Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

Nasional
Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye 'Tahanan KPK' Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye "Tahanan KPK" Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Nasional
Adam Deni Hanya Dituntut 1 Tahun Penjara, Jaksa: Sudah Bermaafan dengan Sahroni

Adam Deni Hanya Dituntut 1 Tahun Penjara, Jaksa: Sudah Bermaafan dengan Sahroni

Nasional
Ide 'Presidential Club' Prabowo Diprediksi Bakal Bersifat Informal

Ide "Presidential Club" Prabowo Diprediksi Bakal Bersifat Informal

Nasional
Prabowo Mau Bentuk 'Presidential Club', Ma'ruf Amin: Perlu Upaya Lebih Keras

Prabowo Mau Bentuk "Presidential Club", Ma'ruf Amin: Perlu Upaya Lebih Keras

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com