Bagi Kalla, pelaksanaan ujian nasional (UN) berlangsung sesuai harapan saat pertama kali dimulai tahun 2002. Ia berharap, masyarakat tidak terfokus pada hasilnya saja, tetapi lebih pada proses pembelajaran. Pasalnya yang paling penting harus diubah adalah suasana atau budaya belajar murid sehingga kualitas belajarnya meningkat.
”Yang harus diperbaiki bukan hanya sarana-prasarana atau fasilitas layanan pendidikannya, melainkan justru di budaya belajarnya. Kita tidak mempunyai budaya belajar,” tutur Kalla.
Karena itu, Kalla secara tegas menolak jika UN dihapuskan. ”Jika dihapuskan, bagaimana membuat standar pendidikan secara nasional?” ujarnya. Selain itu, adanya UN terbukti mendorong murid lebih giat belajar dan guru juga lebih peduli menyiapkan anak-anaknya untuk ikut UN.
”Ketika tidak ada ujian nasional, semua santai-santai saja karena murid pasti lulus ujian,” kata Kalla. ”Tidak apa-apa saya disalahkan karena saya berpikir untuk kemajuan bangsa ke depan,” tuturnya.
Meskipun demikian, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta Soedijarto berbeda pendapat. Menurut dia, UN bukanlah solusi atau cara meningkatkan kualitas dan kompetensi peserta didik. Sebab, sistem evaluasi belajar dengan UN justru menciptakan generasi yang hanya bisa menghafal dan tidak belajar untuk memahami sesuatu.
”UN justru akan mengurangi kreativitas belajar sampai menghilangkan semangat untuk menemukan hal-hal baru. Murid hanya belajar yang akan diujikan. Tidak akan belajar misalnya meneliti dan terbiasa membuat karya tulis,” kata Soedijarto.
Sinergitas
BJ Habibie yang tampil pertama dalam konvensi itu menyampaikan pentingnya sinergitas antara pendidikan dan penanaman nilai-nilai budaya kepada para siswa di sekolah, termasuk kecintaan pada bangsa dan Tanah Air.
Habibie mengharapkan proses pendidikan di sekolah tidak sekadar mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi semata. Proses pendidikan di sekolah juga sepatutnya mampu memberikan dan menanamkan nilai-nilai budaya kepada para siswa. Guru-guru di sekolah diharapkan melakukan proses pembudayaan sebesar 10-20 persen dari keseluruhan waktu para siswa ketika berada di sekolah. Sekolah juga diharapkan mampu meneruskan berbagai nilai budaya yang sedari awal sudah dimulai dan dibentuk dari keluarga asal para siswa.
”Proses pendidikan dan proses pembudayaan harus berjalan dengan sinergi dan beriringan,” ujar Habibie.
Siswa yang memahami iptek serta tertanam nilai-nilai budaya bangsa di dalam dirinya akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Mereka akan menjadi generasi muda yang unggul dari sisi iptek dan juga memiliki daya saing global tanpa kehilangan kecintaan serta semangat pengabdian pada bangsa dan Tanah Air. (LUK/*/THY)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.