JAKARTA, KOMPAS.com - Menjelang pemilihan umum dan pemilihan presiden yang akan berlangsung beberapa bulan mendatang, sejumlah sosok yang mencalonkan diri maupun dijagokan untuk menduduki kursi presiden dan wakil presiden periode 2014-2019 telah meramaikan jagad politik nasional.
Sosok yang tampil bukan hanya dari latar belakang politisi, namun juga pengusaha, akademisi, pemilik media dan juga purnawirawan TNI.
Pengamat politik Alfan Alfian dalam bukunya "Menjadi Pemimpin Politik", mengatakan, banyak motivasi mengapa orang memiliki hasrat untuk menjadi pemimpin.
Menukil pendapat Anthony D'Souza, Alfan mengatakan, beberapa alasan mengapa orang ingin menjadi pemimpin antara lain untuk mendapatkan kekuasaan, kekayaan, gengsi, kepenuhan diri, tantangan, pengakuan, rasa hormat, mengendalikan dan memberi arah.
"D'Souza merangkum alasan-alasan itu ke dalam tiga kategori yang pertama untuk mendapatkan kekuasaan, yang kedua untuk mendapatkan kendali atau menjadi yang berwenang dan ketiga untuk menjadi yang dilayani atau mendapatkan pengakuan, rasa hormat, gengsi, kekayaan dan sebagainya," katanya seperti dikutip dari Antara.
Salah satu "atribut" dalam kampanye menjelang pemilihan umum dan pemilihan presiden yang dilakukan adalah menyampaikan janji politik dan juga menciptakan citra positif.
Namun, seiring dengan perkembangan pemahaman masyarakat mengenai politik, maka pencitraan tidak dapat lagi diandalkan sebagai alat utama untuk melaju dalam pemilihan presiden maupun pemilihan umum.
Pengamat komunikasi politik Heri Budiyanto dalam sebuah kesempatan diskusi belum lama ini menyatakan, politik pencitraan sudah tidak lagi mujarab untuk menaikkan keterpilihan calon presiden pada Pemilihan Umum 2014 karena rakyat sudah semakin cerdas memilih.
"Selamat tinggal politik pencitraan karena rakyat sudah mengetahui calon presiden yang hanya mengejar pencitraan atau secara tulus ingin mengabdi untuk bangsa," kata Guru Besar Universitas Mercu Buana Jakarta itu.
Ia mengungkapkan, rakyat sudah bisa menilai dari rekam jejak para calon presiden, apakah amanah menjalankan tugas sebagai pemimpin walaupun di level yang lebih kecil atau sudah pernah diberi tanggung jawab, namun tidak amanah.
Sementara itu, mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso saat mengisi kuliah umum di Banda Aceh beberapa waktu lalu, meminta masyarakat yang memiliki hak pilih pada pemilihan umum legislatif dan presiden pada 2014 tidak terkecoh dengan pencitraan politik yang dilakukan setiap calon.
"Saya berharap seluruh pemilih dapat menentukan pilihanya pada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk memimpin bangsa kearah lebih baik di masa mendatang," katanya.
Dijelaskan Sutiyoso, seorang pemimpin masa depan harus memiliki keberanian dan kemampuan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa yang muncul disetiap kawasan.
Menurut dia, pemimpin masa depan juga harus memiliki pengalaman yang cukup untuk mengatasi berbagai persoalan yang muncul seperti persoalan politik, penegakan hukum, ekonomi, pertahanan negera dan peningkatan sumber daya manusia di berbagai sektor.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga memperingatkan siapa pun yang akan maju dalam pilpres mendatang tak sekedar mengedepankan pencitraan untuk mendorong elektabilitasnya.
Dalam buku "Selalu Ada Pilihan", SBY mengatakan pencitraan memang efektif diperlukan saat masa kampanye. Pencitraan itu bisa dilakukan di media massa, berkomunikasi langsung dengan publik atau dengan cara-cara lain.
"Tetapi sehebat-hebatnya upaya pencitraan, tidak mungkin seorang kandidat akan berhasil dan sukses dalam pemilu jika tidak memiliki modal apa-apa. Artinya harus ada yang bisa dijual. Harus ada yang bisa dipoles atau dicitrakan," katanya.
Mantan Kasospol ABRI dan Ketua Fraksi ABRI itu mengatakan, siapa pun yang punya keinginan untuk melaju menjadi presiden atau wakil presiden pada pemilu 2014 mendatang, mesti berupaya untuk menambah modal masing-masing yang berbentuk prestasi dan kemampuan.
"Modal itu bisa integritas, kapasitas dan juga aksepbilitasnya. Apabila masuk di papan atas, misalnya 10 besar, barulah melanjutkan ke pencitraan yang tepat," katanya.
SBY menegaskan,"pencitraan memang harus tepat, tidak terlalu "nganeh-nganehi", dan berlebihan, sehingga tidak justru menjadi kontra-produktif."
Jangan Janji Muluk
Presiden SBY juga mengingatkan calon pemimpin hendaknya tidak memberikan janji politik yang muluk-muluk pada konstituennya.
"Menjelang pemilu 2014 baik melalui televisi maupun billboard, ada seorang calon presiden yang sangat aktif dan menggebu-gebu dalam berjanji bahwa jika ia terpilih menjadi presiden pada tahun 2014 mendatang, Indonesia akan bersih dari korupsi. Kata-kata dan janji-janjinya luar biasa," kata SBY.
Ditambahkannya,"secara implisit yang bersangkutan menuding yang lain tidak bersih dan seolah hanya partai dan dirinyalah yang bersih."
Ia mengatakan, secara pribadi tidak yakin dalam sekejap Indonesia langsung bersih dari praktek korupsi saat si tokoh tadi menjabat sebagai Presiden.
"Mudah-mudahan rakyat tidak terkecoh dengan janji-janji yang amat berlebihan itu," kata SBY.
Presiden berpandangan pemimpin yang baik adalah pemimpin yang konsisten dan konsekuen. Termasuk menjalankan apa yang dijanjikan pada masa kampanye pemilihan presiden.
"Bahwa jika dalam realitasnya tidak semua sasaran itu bisa dicapai karena dinamika dan perkembangan keadaan yang dihadapi, umumnya rakyat bisa memahaminya. Yang penting, sekali lagi janji-janji itu sungguh ditepati," kata Presiden.
"Saya memegang prinsip lebih baik tidak berjanji terlalu banyak, tetapi bisa menghasilkan lebih banyak. Less promise, more delivery, bukan over promise, under delivery," katanya.
Terlepas dari janji dan pencitraan yang dilakukan para calon presiden yang akan bertarung pada pilpres mendatang dan partai-partai politik yang akan berlomba dalam pemilu mendatang, semuanya harus memiliki komitmen yang tinggi atas janji kampanye dan juga keberpihakan pada rakyat.
Sebagaimana pemikiran dari Ki Ageng Suryomentaram yang dinukil oleh Goenawan Muhammad dalam tulisannya, yaitu yang menangis adalah yang berpunya, yang berpunya adalah yang kehilangan, yang kehilangan adalah mereka yang ingin.
Terkait pemikiran Ki Ageng Suryomentaram itu, Alfan mengatakan,"karena punya hasrat menjadi politisi, Anda punya peluang untuk 'kehilangan'. Kalau Anda ingin 'apa-apa', bersiaplah untuk tidak mendapatkan apa-apa".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.