JAKARTA, KOMPAS.com — Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, jika Pemilu 2014 tetap dilaksanakan dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang pemilu presiden, maka hasil pemilu nantinya rawan digugat. Pasalnya, kata Yusril, pelaksanaan Pemilu 2014 yang akan tidak serentak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Ini bisa saja digugat karena ada persoalan legitimasi. MK sudah membuat keputusan yang blunder dengan menyatakan bahwa pemilu serentak baru dilaksanakan pada tahun 2019,” ujar Yusril saat dihubungi, Jumat (24/1/2014), menyikapi putusan uji materi UU Pilpres terkait pemilu serentak.
Yusril menjelaskan, putusan pengadilan seharusnya berlaku semenjak diputuskan, demikian pula dengan putusan MK. Penundaan pelaksanaan putusan, menurut dia, akan menyebabkan kevakuman hukum.
"Ini keputusan yang aneh. Kalau satu undang-undang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat, tidak bisa menunggu 2019, harus saat itu juga. MK memakai pertimbangan hukum keputusan serupa pada kasus-kasus yang lain, yang saya sebut itu keputusan salah. Masa mau mempertahankan seperti itu?” kata Yusril.
Lebih lanjut, Ketua Dewan Syuro Partai Bulan Bintang itu memperkirakan bahwa putusan MK terkait pemilu serentak pada tahun 2019 akan berimplikasi serius. Dia yakin, akan ada masyarakat yang mempersoalkan hasil Pemilu 2014.
"Gugatan ini bisa mendeligitimasi kekuasaan negara. Persoalan legitimasi ini serius karena pemimpin ke depan dihasilkan oleh pemilu yang inskonstitusional," kata bakal calon presiden PBB itu.
Seperti diberitakan, MK mengabulkan sebagian uji materi UU Pilpres yang diajukan akademisi Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Serentak dengan putusan pemilu serentak pada 2019. Jika dilaksanakan pada 2014, menurut MK, maka pelaksanaan pemilu dapat mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945.
MK dalam putusannya menegaskan bahwa penyelenggaraan pileg dan pilpres yang berlangsung tidak serentak pada 2009, dan akan diulangi pada Pemilu 2014, tetap dinyatakan sah dan konstitusional. Untuk keputusan pemilu serentak, diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum dalam melaksanakannya.
Dengan putusan MK itu, syarat pengusungan capres-cawapres pada Pilpres 2014 tetap berpegang pada UU Pilpres, yakni 20 persen perolehan kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional. Jika tak cukup, maka parpol harus berkoalisi untuk mengusung capres-cawapres.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.