Oleh : J Kristiadi
KOMPAS.com -
Perilaku brutal belasan orang minggu lalu mengobrak-abrik ruang sidang Mahkamah Konstitusi sehingga berantakan memberikan tengara yang kuat bahwa wibawa lembaga yang salah satu tugas utama
nya adalah garda penjaga konstitusi telah luluh lantak akibat nafsu serakah pemimpin institusi itu. Lembaga yang lebih kurang 10 tahun berhasil memancarkan aura kewibawaan, tetapi setelah Akil Mochtar tertangkap, ruang sidang yang semula sangat bermartabat jadi porak poranda karena amukan massa.

Tindakan tersebut mencerminkan kekecewaan sebagian masyarakat yang geram menyaksikan perilaku palsu dan munafik seseorang yang tutur katanya mulia dan mengutuk korupsi, ternyata melakukan perbuatan durjana. Namun, apa pun alasannya, para pelaku harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Cuma perlu diingat, para perusuh ”hanya” merusak ruang sidang, tetapi perilaku korup menghancurkan negara serta mematikan harapan publik.

Tidak ada jalan pintas membangun wibawa MK yang sudah telanjur hancur lebur pamor dan perbawanya. Terlebih kalau upaya tersebut hanya kalang kabut menuduh pemberitaan media, khususnya televisi, serta berbagai komentar para pengamat sebagai provokator pemicu kerusuhan. Reaksi medioker dengan menyalahkan pihak lain sebagai kambing hitam sangat disayangkan. Seharusnya mereka bertafakur dan bertekad memutus perkara yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat.

Beberapa kalangan mengusulkan, untuk menjaga wibawa MK, kewenangan MK mengadili sengketa pilkada dikembalikan kepada Mahkamah Agung. Namun, gagasan tersebut justru akan mengakselerasi tingkat kerusakan lembaga peradilan. Pertama, reputasi peradilan pada umumnya, termasuk Mahkamah Agung, sudah sedemikian merosot sehingga memindahkan sengketa pilkada ke peradilan umum hanya akan semakin menjauhkan prinsip pemilu yang adil. Ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada mengakibatkan distorsi kedaulatan rakyat serta menyesatkan prinsip-prinsip demokrasi. Kekhawatiran itu akan menjadi kenyataan mengingat kasus sengketa pilkada telah melibatkan sejumlah pihak, termasuk unsur-unsur penyelenggara pemilu dan pilkada di sejumlah daerah.

Kedua, kemampuan MA dalam menangani kasus hukum juga sudah kedodoran. Catatan statistik MA menunjukkan tunggakan kasus yang belum diselesaikan semakin menumpuk dari tahun ke tahun. Menurut kajian Veri Junaedi (2013) dari Perludem, tunggakan perkara di MA dan lembaga peradilan di bawahnya berjumlah ribuan. Kalkulasi tunggakan perkara, baik sisa perkara tahun sebelumnya maupun perkara yang masuk pada tahun 2010, sekitar 40 persen sehingga dari segi manajerial saja MA diragukan kemampuannya.

Sementara itu, MK dalam menangani kasus sengketa pilkada dengan limitasi waktu yang sangat pendek, disertai jumlah yang semakin meningkat, tidak ada yang tercecer. Bahkan MK dapat mengembangkan keputusan progresif dalam menyelesaikan perkara sengketa perselisihan hasil pilkada. Bukan hanya di hilir (kekeliruan dalam penghitungan suara), melainkan dicari mulai dari hulu, yaitu proses yang dapat mengakibatkan terjadinya sengketa.

Mengembalikan wibawa MK dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 juga tidak dapat terlalu banyak diharapkan. Ibaratnya mengobati kanker ganas dengan obat pusing kepala karena episentrum persoalan adalah transaksi jabatan publik. Korupsi Ketua MK hanya merupakan serpihan dari korupsi politik. Namun, dalam batas-batas tertentu, regulasi tersebut kalau diterapkan dengan niat politik yang sungguh-sungguh mulia, dapat memitigasi agar kredibilitas MK tidak semakin melorot. Terutama dalam hal mengurangi pengaruh kepentingan parpol dalam seleksi calon hakim MK serta pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi. Namun, dikhawatirkan, DPR akan menolak usulan tersebut karena parpol sudah merasa nyaman dengan UU MK dewasa ini yang dapat menjamin kepentingan politiknya. Mereka tidak akan mampu mengendalikan diri untuk melepaskan genggaman kekuasaan tersebut.

Namun, mengingat peran dan fungsi MK yang sangat penting karena menjadi penjamin tegaknya konstitusi serta menjaga penyelenggaraan pemilu, sebaiknya semua pihak, terutama elite politik, rela mengesampingkan kepentingan politik sempit mereka. Masyarakat pun diharapkan tidak larut dan terlena dalam emosi berlebihan hanya akibat perbuatan seorang Akil Mochtar. Bangsa ini terlalu besar kalau harus tunduk kepada orang-orang kerdil yang dalam meraih kedudukan publik hanya berbekal muka tebal, mengumbar janji dan omong besar, senyum lebar, serta bergincu menor untuk mengelabui perilaku yang batil.

Capaian bangsa dalam menata kehidupan negara selama 15 tahun terakhir jangan dibiarkan rusak oleh perbuatan segelintir pecundang dan petualang politik. Oleh karena itu, upaya mengembalikan wibawa MK harus dilakukan dengan strategi bijak disertai ketekunan, kecerdasan, dan kesabaran, mengingat mengembalikan kepercayaan dan wibawa memerlukan waktu tidak singkat.

Prestasi MK selama 10 tahun merupakan modal untuk meretas asa dan membangun wibawanya kembali. Dalam hal ini, peran media sangat penting membangun opini yang dapat mengajak masyarakat ikut serta menyelamatkan lembaga yang merupakan anak kandung reformasi itu.

J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS