Ikhtiar reformasi birokrasi yang selalu didesakkan, kini makin ditopang pemikiran yang canggih. Bicara orang pintar, di negeri kita ini deretannya kian berjubel. Kita tak perlu khawatir soal pemikiran bagaimana menata sistem yang lebih baik. Yakinlah, sistem nantinya akan lebih sophisticated. Namun, yang membuat kita tak habis pikir, mengapa lamban untuk mewujudkan ”orang pintar taat aturan”?
Nah, mari kita awali dengan ketegasan soal kepemimpinan dalam sebuah departemen/kementerian. Kepemimpinan menjadi hal yang penting dalam penataan kembali birokrasi yang karut-marut.
Kepemimpinan haruslah yang jujur, amanah, visioner, tegas, dan berani. Pemimpin yang bermental ”rekening gendut” harus dieliminasi. Kementerian yang bobrok membutuhkan kepemimpinan yang peka, pantang menyerah, dan mau blusukan agar dapat membereskan oknum bawahannya yang bermental durjana. Kita tentu tak berlebihan dalam melihat kasus Tuan Takur di Bea dan Cukai sebagai akibat dari kepemimpinan yang tidak awas, tidak berani dan tidak tegas.
Ketegasan hukum
Dalam fikih, sanksi bagi pelaku penyalahgunaan wewenang atau jabatan bahkan bisa hukuman mati. Pejabat negara yang menyalahgunakan wewenangnya dapat disamakan dengan lima macam kefasikan, yaitu membunuh, zina, mencuri, memutus persaudaraan, dan murtad. Korupsi adalah tindakan ghulul (penyalahgunaan wewenang), sariqah (pencurian atau penggelapan), khianat, dan risywah (suap).
Di sini, di negeri ini, sudah termasuk jelas dan terang-benderang apabila korupsi uang negara dilakukan pejabat. Secara khusus, perilaku koruptif ini masuk kategori ghulul karena unsur penyalahgunaan jabatan yang juga meliputi perbuatan nepotisme dan kolusi.
Jabatan adalah amanah, karena itu penyalahgunaan terhadap amanah hukumnya haram. Perbuatan ghulul misalnya menerima hadiah, komisi, atau apa pun bentuk gratifikasi yang tak semestinya dia terima.
Ada hadis menegaskan, ”Barang siapa yang kami angkat menjadi karyawan untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang ia ambil lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya korupsi”. (HR Abu Dawud dari Buraidah).
Walhasil, kasus sogok di Bea dan Cukai menjadi pelajaran krusial untuk menyadarkan kembali tentang bahaya korupsi. Reformasi birokrasi, penegakan hukum dan revolusi mental harus menjadi garapan bersama secara berlanjut. Tidak ada kata menyerah: basmi korupsi atau Indonesia bangkrut!
Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU