”Atut dan TCW (Tubagus Chaeri Wardana—adik kandung Atut) menempatkan keluarga dan orang-orangnya di birokrasi,” kata Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (Alipp) Suhada, Minggu (13/10/2013).
Sekretaris Daerah Provinsi Banten Muhadi, misalnya, merupakan paman Wali Kota Tangerang Selatan yang juga adik ipar Atut, Airin Rachmi Diany. Sebagai Sekda, posisi Muhadi sangat strategis. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan, pengguna anggaran di pemerintah daerah adalah sekda.
Ayah Airin, Anwar K, juga menjabat sebagai Ketua Konsuil Banten yang bertugas menerbitkan sertifikasi layak operasi bagi puluhan ribu rumah dalam program listrik masuk desa. Biaya sertifikasi rumah layak operasi dalam program listrik masuk desa tersebut dialokasikan di APBD.
Bukan hanya itu, orang-orang dekat keluarga Atut juga ditempatkan di dinas-dinas strategis.
”Di dinas-dinas ’basah’, seperti Dinas Kesehatan, Dinas PU (Pekerjaan Umum), DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan), Atut juga menempatkan orang-orangnya,” tutur Suhada.
Rakyat yang memilih
Menanggapi hal ini, juru bicara keluarga Atut, Fitron Nur Ikhsan, mengatakan, politik dinasti di Banten tidak melanggar perundang-undangan karena konstitusi memperbolehkan. Keinginan keluarga Atut terjun berpolitik pun bukan kemauan Atut semata, melainkan keinginan banyak pihak dengan mempertimbangkan elektabilitas.
Fitron mengungkapkan, keluarga Atut yang maju sebagai kepala daerah pun tidak semuanya menang. Dicontohkan, adik ipar Atut, Aden Abdul Khaliq, yang kalah dalam Pemilihan Bupati Tangerang. ”Setiap individu punya hak politik. Toh, rakyat yang menentukan,” ujarnya.
Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi, menilai, kecenderungan politik dinasti yang menyebar secara eksesif, seperti keluarga Atut, memiliki efek negatif bagi proses demokrasi. Politik dinasti tersebut rentan dan memiliki potensi besar bagi pemanfaatan akses kepada kekuasaan ataupun anggaran publik bagi kepentingan dinasti itu sendiri.
Secara terpisah, pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Malang, Wahyudi Winaryo, mengatakan, birokrasi dalam pemerintahan tidak akan profesional jika dinasti politik diterapkan.
”Bagaimana birokrasi mau profesional dan perekrutan politik mau obyektif jika eksekutif hingga legislatif satu keluarga,” kata Wahyudi.
Belum lama ini, Tubagus Chaeri Wardana ditangkap KPK terkait dugaan suap kepada Ketua Mahkamah Konstitusi (nonaktif) Akil Mochtar terkait Pilkada Lebak. (NTA/ILO/ATO/FER)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.