Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hakim PN Jaksel Rekayasa Vonis 4 Pengamen?

Kompas.com - 02/10/2013, 16:06 WIB
Rahmat Fiansyah

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Putusan yang dijatuhkan Hakim Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Suhartono kepada empat pengamen yang dituduh membunuh rekan seprofesinya dinilai cacat. Majelis hakim ditengarai merekayasa proses peradilan karena tidak mampu menghadirkan bukti-bukti yang kuat.

Hal ini disampaikan oleh pengacara, Johanes Gea, saat memberikan keterangan pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, Rabu (2/10/2013). "Proses peradilan berlangsung begitu cepat. Terkesan terburu-buru. Hanya dalam kurun waktu kurang dari sebulan, hakim langsung memutuskan keempat anak tersebut bersalah," tuturnya.

Seperti diwartakan, PN Jaksel menjatuhkan vonis bersalah kepada empat pengamen pada hari Selasa (1/10/2013). Keempat pengamen tersebut masing-masing FP dijatuhi 4 tahun hukuman penjara, BF dihukum 3 tahun, F dihukum 3,5 tahun, dan AP dikenakan hukuman 3 tahun penjara. Majelis hakim menilai mereka terbukti melakukan pidana sesuai dakwaan primer Pasal 338 jo Pasal 55 ayat 1 KUHP.

Johanes juga mencium adanya konspirasi antara jaksa dan hakim. Pasalnya, persidangan hingga putusan sela yang awalnya diketuai oleh hakim tunggal, Syamsul Edy, tiba-tiba diganti oleh Hakim Ketua Suhartono yang memimpin agenda pemeriksaan saksi hingga putusan.

"Mengapa kami tidak diberitahu alasan penggantian itu," katanya.

Padahal, menurut Johanes, hakim Syamsul Edy ketika memimpin persidangan di awal sudah sejalan dengan posisi hukum dari pihaknya. Saat itu, hakim Syamsul Edy menilai bahwa berita acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat penyidik Polda Metro Jaya hanya karangan belaka. BAP tersebut berisi pengakuan keempat terdakwa yang kini mendekam di penjara.

Ketika dipimpin oleh hakim Suhartono, pengadilan langsung menjatuhkan vonis bersalah. Menurut Johanes, hakim Suhartono mengesampingkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, seperti adanya penyiksaan sebelum pembuatan BAP hingga mengabaikan pleidoi dari pihak terdakwa.

"Tidak hanya itu, majelis hakim juga menolak tiga saksi kunci yang kami ajukan yang mengetahui pelaku (pembunuhan) yang sebenarnya," papar Johanes.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Bidang Penanganan Kasus LBH Jakarta Muhamad Isnur juga menyatakan banyak pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus tersebut. Ia mencontohkan, ketika diperiksa, keempat anak tersebut tidak didampingi penasihat hukum, Balai Pemasyarakatan (Bapas), atau orangtua. Begitu juga saat hakim Suhartono langsung membacakan putusan bersalah selang beberapa menit penasihat hukum membacakan pembelaannya.

"Saya menduga hakim sudah mengambil keputusan sebelum penasihat hukum membacakan pleidoinya. Ini jelas melanggar UU di mana hakim harus mempertimbangkan pleidoi sebelum mengeluarkan putusan," jelasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com