Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revolusi Bermula dari Sini

Kompas.com - 30/09/2013, 06:46 WIB

Nah, sejak itulah, "revolusi cita rasa" dimulai. Orang-orang Eropa dapat memakan makanan dengan cita rasa yang berbeda dengan pendahulunya adalah karena datangnya bumbu-bumbu dari Maluku. Tapi, orang-orang Eropa belum tahu, asal dari rempah-rempah itu, sebab masih dirahasiakan oleh orang Arab, India, dan Cina. "Para pedagang dari daerah-daerah tersebut itu kan berdagang sampai kepulauan Nusantara, dan dapat melewati Selat Sunda atau Selat Malaka.  Jika lewat Selat Sunda maka harus menyusuri Pantai Barat Sumatera, sedangkan jika lewat Selat Malaka maka melewati Kerajaan Samudera Pasai. Berbagai macam pedagang kemudian melewati jalur-jalur tersebut dan saling bertukar barang di Samudra Pasai dan Pantai Barat Sumatera," Murdijati berkisah.

Masuk akal bukan, jika rempah-rempah Nusantara itu yang mengubah cita rasa dunia? Sebab memang, tanaman rempah-rempah hanya bisa tumbuh dengan baik di daerah tropis seperti Indonesia.

Setelah sekian lama, akhirnya rahasia tentang lokasi penghasil rempah-rempah itu pun tebrongkar juga. Pada awalnya yang menemukan lokasi kepulauan Maluku adalah orang-orang Spanyol, namun karena pada saat itu raja mereka tidak mampu membiayai pelayaran, maka
informasi tersebut dijual sehingga yang terkenal menemukannya adalah orang Portugis. Sejak saat itulah, bangsa-bangsa Eropa mulai memerebutkannya.

Maka sekarang, rasanya hampir seluruh manusia di muka bumi ini akrab dengan bumbu rempah-rempah yang berasal dari Nusantara/ Indonesia.  Itulah sebabnya, ketika ada survey menyebutkan bahwa rendang adalah masakan olahan daging yang paling enak di dunia dan nasi goreng adalah nasi olahan terbaik di dunia, dan kemudian cendol adalah dessert yang paling disukai, itu tidak mengherankan karena gula jawa hanya ada di sini, bumbu rempah-rempah juga dari sini, dan beras sendiri adalah bahan makanan di wilayah tropis dan merupakan bahan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia.

Lantaran sedemikian hebatnya kuliner Nusantara itulah, maka menurut Murdijati, ilmu pangan harus digunakan untuk mengeksplor kuliner Nusantara, bukan hanya untuk tujuan manufaktur untuk kemudian diwujudkan menjadi pabrik, seperti pabrik coklat, susu, pengalengan ikan,
fruit cocktail, dan sebagainya. "Bukan hanya itu, tapi teknologi pangan harus dapat menjelaskan kuliner Nusantara secara scientific, contohnya adalah: pembuatan lemang, teknologi pembuatan pepes, teknologi bungkus kukus, teknologi panggang. Sate kita itu sangat berbeda dengan grill dari Amerika, padahal caranya sangat primitif karena dibakar langsung di atas api tapi cita rasanya itu beda sekali karena rempah-rempah itu," simpul Murdijati.

Seperti semut di seberang lautan dan gajah di pelupuk mata, keistimewaan kuliner yang kita miliki itu seringkali tidak kita lihat sendiri, bahkan para pengusaha perhotelan dan pariwisata rata-rata menyediakan makanan Barat untuk turis, dan tentu saja rasanya sangat berbeda dengan yang aslinya karena bukan budayanya. "Seharusnya kita menyediakan makanan asli Indonesia dan turisnya yang diminta untuk makan makanan kita. Karena itu saya berpikir, kenapa bisa seperti ini? Yang pertama adalah karena nenek moyang kita memiliki tradisi tutur yang kuat sehingga ketika mereka meninggal maka ilmu pengetahuannya juga mati dan hilang. Agar tidak terjadi demikian, meskipun saya masih tergolong baru, saya mencoba menulis buku," ujar ibu dua anak yang telah menulis 26 buku tentang kuliner ini.

***
Berlama-lama duduk di hadapannya, seraya mendengarkan penuturan Bu Mur sungguh tak membosankan. Pengetahuan tentang kuliner yang beliau paparkan menambah perbendaharaan penghetahuan saya mengenai dunia makanan yang tidak sebatas "mak nyus", "yummy", "lazies..".

Tentu saja saya percaya seratus persen dengan semua pernyataannya mengenai dunia makanan. Sebab dia memang tidak asal omong. Statusnya sebagai Staff Peneliti Makanan Tradisonal UGM, dan gelarnya yang panjang, cukup mengisyaratkan betapa semua yang dia katakan mengenai makanan, tentu telah melewati proses penelitian yang panjang.

Menurutnya, dalam meneliti ada dua hal yang dia kerjakan. 1) metode survey  tentang kuliner Nusantara. Untuk hal ini Murdijati yang mengaku tidak mendapat banyak dukungan dari pemerintah daerah--karena mungkin mereka menganggap itu bukanlah suatu hal yang
penting--merasa beruntung, karena ada beberapa Pemda yang bersedia membantu mendata kuliner daerah. SepertiKabupaten Tuban, Lamongan, Provinsi Banten, Pekalongan, dan Sleman. Kemudian untuk wilayah lain Bu Moer meminta bantuan mahasiswa, seperti Purwakarta, Pasundan, Betawi, dan beberapa wilayah lain;

2) Meneliti berbagai sifat bahan yang akan diproses, misalnya: mengikuti proses meresapnya bumbu di dalam pepes; perambatan panas dalam lemang; mengikuti lamanya pemanasan untuk membuat rendang, halal itu dihubungkan dengan berbagai parameter seperti mengentalnya santan, dsb; lalu soal kaldu Indonesia karena masakan di Indonesia terdiri dari dua jenis, yang bersantan dan tidak bersantan yang berbentuk kaldu, kaldunya masih berkiblat ke Barat. Nah, lalu kaldu yang asli Indonesia itu seperti apa itu pernah diteliti; berikutnya soal minuman herbal yang juga banyak diteliti karena bisa membangun kesehatan masyarakat.

Murdijati menegaskan, jika digolong-golongkan, masakan Nusantara itu memiliki ciri khusus dari setiap wilayahnya. Meski memiliki obsesi yang belum tercapai untuk menginventarisasi kuliner Nusantara, tapi kuliner tersebut dapat diidentifikasi dari bumbunya. Di Aceh ada liu, yaitu parutan kelapa yang diberi ramuan khusus dan di fermentasi, rasanya jadi khas Aceh. Di Sumatera Utara ada bumbu khas yang disebut andaliman, yaitu bumbu yang rasanya pedas-segar atau cabai Sichuan. Apabila ke Selatan lagi, di Minangkabau ada daun ruku-ruku dan kunyit. Lebih ke Selatan lagi ada Bekasam di Bangka-Belitung, yaitu durian yang juga di fermentasi. Lebih ke Selatan kita punya lada hitam di Lampung. Lalu menyeberang ke Pulau Jawa, di Betawi dan Pasundan ada tauco; di Jawa juga ada terasi, kemudian sambal lalap di Pasundan juga sangat berkembang. Kalau kita ke Timur, kita punya tempe dan gula jawa, lebih ke Timur ada petis. Kemudian kita juga punya campuran antara kencur dan cabai di Bali. Lebih ke Timur lagi sudah beda karena kebanyakan ikan. Jika ke arah Utara kita punya cabai untuk Rica-rica. Dari sudut bumbunya saja sudah bermacam-macam dan itu belum digali secara scientific.

Sesuai dengan jumlah penduduk dan luas wilayah, maka menurut Moerdijati, yang paling banyak kulinernya itu daerah Jawa. Dari hasil penelitian dan berdasar kajian pustaka yang diterbitkan dalam kurun periode tertentu diketahui bahwa Jawa memiliki paling banyak varian makanan, yaitu 115 sayur mayur dan sayur berkuah, 97 sayur kering, dan 64 kudapan. Itu semua yang masih ada hingga sekarang.

"Namun, apabila dibandingkan dengan jenis sayuran yang diceritakan dalam buku "Serat Centhini" itu masih lebih banyak yang di Serat Centhini, sayangnya mungkin karena penulis Serat Centhini adalah laki-laki sehingga beliau hanya menuliskan nama masakannya tanpa
pernah menjelaskan seperti apa rupanya, dibuat dari apa, dan sebagainya sehingga kita hanya bisa menerka," papar Bu Mur.

Jelasnya, di dalam Serat Centhini itu ada 256 episode tentang makan yang dapat digolongkan menjadi: makan pagi, makan siang, makan malam, menjamu tamu, selametan, dan hajatan. "Itulah yang ingin Saya tulis menjadi sebuah buku namun balum sempat karena saya belum punya waktu untuk duduk lama di depan komputer," terang Bu Mur.

Serat Centhini bagi Bu Mur sudah seperti ensiklopedi, karena memuat banyak hal dan cakupan wilayahnya. Mulai dari Banten sampai ujung Timur Jawa di Banyuwangi. Ketika Saya ke Banten untuk penelitian, masih dapat dijumpai kuliner dengan nama yang sama seperti yang tertulis dalam Serat Centhini, yaitu Jalabia. Ada juga masakan yang tertulis di sana namun apabila dikaitkan dalam konteks waktu sekarang pasti tergolong makanan mewah, misalnya Semur Gelatik dan Baceman Derwowok.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com