Sayang, pohon-pohon beringin tak ditebang habis sampai ke akar-akarnya. Perlahan-lahan, tahap demi tahap, dan sembunyi-sembunyi, banyak warga tak kapok karena tetap menanam pohon beringin di halaman.
Kita kalah sama pemerintahan China. Pada masa Revolusi Kebudayaan, Mao Zedong menghancurkan beringin di semua kebun raya milik negara karena dianggap ”feodal dan borjuis”.
Akibat tak ditebang habis, beringin itu kembali tumbuh jadi besar. Tiba-tiba banyak orang yang merasa punya tempat berteduh lagi.
Jangan marah, beringin itu maksudnya ya Partai Golkar. Suka atau tidak, Golkar masih dan tetap akan kuat sampai Pilpres-Pemilu 2014.
Sejak memangku jabatan Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie (ARB) telah bertekad mengikuti Pilpres 2014. Untuk itu ia tak bergabung lagi sebagai menteri kabinet SBY-Boediono.
ARB melanjutkan warisan Jusuf Kalla (JK), ketua umum yang nyapres. Seperti JK, salah satu tugas berat ARB membasmi faksionalisasi internal yang tidak akan pernah sehat.
Golkar masih belum menempatkan politik yang menempatkan keutamaan/kebajikan (virtues) sebagai prinsip. Padahal, Golkar partai modern terbesar dengan pemilih rasional.
Kekalahan Golkar dan Jusuf Kalla bukan gambaran sesungguhnya karena pelaksanaan Pemilu/Pilpres 2009 amburadul karena daftar pemilih tetap.
ARB bertipe solidarity maker, sosok yang dibutuhkan yang tak banyak beda dengan Jusuf Kalla atau Akbar Tandjung. Ia pragmatis karena berlatar belakang saudagar yang tak mau lelah memahami nuansa politik canggih dan njelimet.
Jangan lupa, ARB salah satu dari segelintir orang yang ditawari jabatan wakil presiden oleh SBY tahun 2009. Bahkan, tawaran untuk ARB datang sebelum kepada Boediono.
Golkar tetap beringin yang mengayomi berbagai kepentingan. Sejarah memperlihatkan, Golkar mampu mengelola konflik untuk menjadi konsensus baru.
Politik selalu cair dan 2 x 2 belum tentu sama dengan 4. Konsensus baru itu bisa saja menampung aspirasi penetapan cawapres, bukan mengubah capres ARB yang pasti akan membuat guncangan besar yang tidak perlu.