Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 20/08/2013, 20:24 WIB
Jodhi Yudono

Penulis

Nyaris sama dengan diaspora Indonesia yang berada di Afrika Selatan, adalah mereka yang "dibuang" ke Srilanka atau Ceylon. Di tahun 70an, anak-anak kecil suka ditakut-takuti untuk tak pergi jauh-jauh agar tidak diselon (ceylon) atau diculik. Kerturunan Indonesia yang berada di  Sri Lanka juga dikenal sebagai Ja Minissu yang berarti orang Jawa, mayoritas berasal dari Indonesia dan kini jumlahnya sekitar 50.000 orang.

Nenek moyang mereka datang ke negara ini ketika Sri Lanka dan Indonesia menjadi jajahan Belanda. Kebanyakan dari para imigran Melayu pertama ini adalah tentara, yang ditempatkan oleh penguasa kolonial Belanda di Sri Lanka, yang kemudian memutuskan untuk menetap di
pulau ini. Imigran-imigran lainnya adalah tahanan atau anggota keluarga bangsawan dari Indonesia yang dibuang ke Sri Lanka dan kemudian tidak pernah kembali. Sumber utama yang melanjutkan identitas Melayu mereka adalah bahasa bersama mereka yaitu bahasa Melayu yang
mencakup banyak kata yang diserap dari bahasa Sinhala dan varian bahasa Moor dari bahasa Tamil. Pada tahun 1980-an, orang-orang Melayu ini mencapai 5% dari populasi Muslim pulau ini, sehingga menjadi salah satu kelompok minoritas terkecil di Sri Lanka.

Nyaris sama ceritanya dengan mereka yang dibawa ke Sri Lanka, orang Indonesia juga banyak yang dibawa ke Suriname untuk dipekerjakan di sana sebagai buruh. Orang Jawa yang dibawa ke Suriname tahun 1880-an, dipekerjakan di perkebunan gula dan kayu yang banyak di daerah
Suriname. Orang Jawa tiba di Suriname dengan banyak cara, namun banyak yang dipaksa atau diculik dari desa-desa. Tak hanya orang Jawa yang dibawa, namun juga ada orang-orang Madura, Sunda, yang keturunannya menjadi orang Jawa semua di sana.

Tahun 1975 saat Suriname merdeka dari Belanda, orang-orang Jawa diberi pilihan, tetap di Suriname atau ikut pindah ke Belanda. Banyak orang Jawa akhirnya pindah ke Belanda, dan lainnya tetap di Suriname. Yang unik dari orang Jawa Suriname ini, dilarang menikah dengan anak cucu orang sekapal atau satu kerabat. Jadi orang sekapal yang dibawa ke Suriname itu sudah dianggap bersaudara dan anak cucunya dilarang saling menikah. Sekarang, orang Jawa Suriname berjumlah sampai 15% penduduk Suriname.

Sementara diaspora Indonesia yang berada di Malaysia, boleh jadi sekarang menempati posisi tertinggi. Menurut data yang diperlihatkan BNP2TKI, jumlah TKI di Malaysia sampai dengan Juli 2012 mencapai hampir 1,9 juta orang. Direktur Ekskutif DSM Bank Indonesia Hendy Sulistiowaty membenarkan bahwa persebaran TKI paling banyak adalah di Malaysia. Bahkan sebelum terjadi moratorium (Juni 2009) jumlah TKI di Malaysia melesat hingga 2,76 juta TKI. Jumlah tersebut akan berlipat kali jika ditambah dengan para keturunan Indonesia yang sekarang sudah memilih Malaysia sebagai tanah air mereka secara turun temurun.

Disusul kemudian Arab Saudi 1,1 juta TKI dan Hongkong yang hanya 189 ribu orang. TKI lainnya menyebar ke Kawasan Asia Pasifik, Eropa, Amerika dan kawasan Timur Tengah lainnya. Di Belanda, konon ada 1 juta orang yang berdarah Indonesia.  Di Timor Leste dan di Kaledonia Baru, proporsinya orang berketurunan Indonesia juga cukup tinggi.

***

Apa pentingnya mengumpulkan tulang-tulang yang berserakan? Tentu saja banyak manfaatnya. Membuat jejaring itulah salah satunya. Manfaat lainnya, secara ekonomi keberadaan diaspora menguntungkan. Salah satunya dalam bentuk remitans (pengiriman uang dari luar negeri). Menurut Direktur Pelaksana Bank Dunia Sri Mulyani, remitansi diaspora Indonesia jumlahnya sangat besar yaitu 7,2 miliar dolar AS. Keberadaan para diaspora Indonesia di luar negeri merupakan kekuatan yang harus ditampung karena memiliki potensi yang besar untuk membantu memajukan tanah air.

Lihatlah jika kaum diaspora Indonesia itu dikumpulkan. Maka di sana ada sejumlah orang terkenal. Di sana ada, antara lain BJ Habibie, Sri Mulyani, Rudy Hartono, Daniel Sahuleka, Prakash Lohia, dan Ananda Sukarlan. Bahkan Ranomi Kromowidjojo, perenang Belanda perebut emas olimpiade juga digolongkan sebagai kaum diaspora Indonesia.

Diaspora Indonesia sesungguhnya penuh dengan sosok-sosok yang bisa menjadi sumber inspirasi. Sebutlah antara lain:  Sehat Sutarja, yang dengan bermodal ijazah listrik dari Pasar Baru berhasil meraih gelar Doktor dari UCLA Berkeley, membangun perusahaan IT raksasa
Marvell di Silicon Valley yang kemudian menguasai dua pertiga dari industri semi-conductor dunia.

Ada sosok Sri Mulyani, yang kini menjabat sebagai Managing Director Bank Dunia, jabatan tinggi pertama yang dipegang orang Indonesia. Ada juga 2 kakak beradik dari Kalimantan, Iwan dan Nisin Sunito : yang satu menjadi raja property di Sydney, dan satunya lagi raja peternakan di Perth. Ada pula Ibrahim Rasool, seorang putra dari keluarga muslim dari Slamang, yang lahir di Cape Town dan kemudian menjadi tokoh African National Congress dan dalam era Presiden Nelson Mandela terpilih menjadi Premier propinsi West Cape.

Dan yang tak kalah pentingnya, adalah besarnya remitans sebesar 7.2 ,miliar dolar AS atau setara 72 triliun ru[iah, sebuah bilangan yang bisa menggerakkan perekonomian Indonesia, jika dikelola dengan benar tentunya.

@JodhiY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com