Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Akademisi Bisa Masuk Pusaran Korupsi?

Kompas.com - 15/08/2013, 22:49 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Kasus korupsi yang menjerat Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini mencengangkan banyak orang. Rudi selama ini dikenal sebagai sosok akademisi jenius, seorang birokrat yang idealis, tetapi sekarang justru harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran perkara suap.

Bagaimana sosok sekaliber Rudi bisa masuk dalam pusaran korupsi? Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sudjito, menilai kasus Rudi menunjukkan kekuatan korupsi di Indonesia semakin sistemik dan semakin menggerogoti profesionalisme, apa pun jenis profesinya.

“Kalau tidak dibongkar dari akarnya, siapa pun bisa saja terjebak dalam korupsi,” ujar Arie saat dihubungi, Kamis (15/8/2013).

Arie menegaskan, kini korupsi sudah tak pandang bulu. Baik akademisi, birokrat, aktivis, maupun aparat penegak hukum bisa saja masuk dalam perilaku korup. Ia mencontohkan kasus korupsi yang justru terjadi di institusi pendidikan seperti dugaan korupsi proyek perpustakaan Universitas Indonesia. Kasus Rudi, sebutnya, hanyalah bagian kecil dari gunung es yang tampak di permukaan.

“Kini perguruan tinggi sudah masuk scope sistem dari korupsi yang bekerja. Ini sudah membahayakan jika terus dibiarkan,” katanya.

Arie menampik anggapan adanya culture shock yang terjadi saat seorang akademisi yang biasa hidup sederhana harus menjadi birokrat dengan segala kewenangan dan kemewahan yang ada. Menurutnya, faktor yang menyebabkan semakin korupnya para pemangku kepentingan di negeri ini adalah sistem yang ada di setiap instansi pemerintahan hingga aparat penegak hukum.

Sistem itu harus segera dirombak total. Sistem birokrasi harus bisa mengimplementasikan deteksi dini atas tindakan korup. Saat ini, aku Arie, wacana reformasi birokrasi hanya sebatas pencitraan. Keberadaan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) sebagai pengevaluasi kinerja kementerian dan lembaga juga tidak “menggigit”.

“Buktinya, soal SKK Migas ini bisa luput dari UKP4,” kaya Arie.

Pemerintah, lanjutnya, tidak bisa lagi hanya bertumpu pada KPK yang lebih menekankan pada aspek penindakan. Perlu ada evaluasi internal dari sistem yang ada di setiap instansi. Dengan sistem yang menutup peluang untuk korupsi, para pejabat di lembaga itu pun tidak bisa bermain mata.

Selain itu, Arie menuturkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diminta untuk segera mengaudit lembaga atau kementerian terkait setiap ada temuan KPK. Salah satu tugas besar Presiden ada di sektor migas.

“Sistem tata kelola migas kita ini sudah sangat rapuh. Ini hanya akan menjadi bom waktu saja. Saya yakin, kalau didalami lebih jauh, kasus ini akan meluas. Harusnya ini menjadi tamparan buat semua pihak, baik kalangan akademisi maupun pemerintahan. Sistem harus diberesi. Jika tidak, siapa saja akan terjebak di dalamnya,” ungkap Arie.

Sang guru besar

Nama Rudi cukup dikenal di lingkungan akademisi. Rekam jejaknya di bidang perminyakan mencerminkan itu. Ia dikenal sebagai seorang akademisi ulung di bidang tersebut. Pria kelahiran Tasikmalaya, 9 Februari 1962, ini menyelesaikan jenjang sarjananya di Institut Teknologi Bandung Jurusan Perminyakan pada 1985.

Rudi melanjutkan studi pascasarjananya di Technische Universitat Clausthal, Jerman, dan meraih gelar doktor pada 1991. Ia meraih penghargaan sebagai dosen ITB teladan pada 1994 dan 1998. Gelar guru besar diraihnya pada 2010.

Setelah itu, ia masuk lingkaran birokrasi saat diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Deputi Operasi Migas pada tahun 2011. Kariernya menanjak. Presiden mengangkatnya sebagai Wakil Menteri ESDM pada 2012.

Tujuh bulan berikutnya, saat MK memutuskan untuk membubarkan BP Migas, Rudi dipercaya untuk menjadi Kepala SKK Migas. Setelah banyak mendapat pengalaman sebagai akademisi dan birokrat, kini sang profesor harus menjalani kehidupan di balik sel penjara.

Rudi tertangkap tangan menerima 400.000 dollar AS dari pelatih golfnya bernama Deviardi oleh KPK. Penangkapan dilakukan di kediaman Rudi yang terletak di Jalan Brawijaya, Jakarta Selatan, pada Selasa (13/8/2013) malam. Rudi beserta Deviardi dan seorang pengusaha trader minyak mentah, Simon Gunawan Tanjaya, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com