”Seloroh” di kalangan sebagian pegiat antikorupsi yang mengatakan, ”Jika seorang jenderal bintang 2 korup saja bisa membeli aset dan menyimpan uang di rekening dengan jumlah yang begitu besar, bayangkan saja jika jenderal bintang 3 atau 4 yang korup.”
Meski sekadar kelakar, hal itu membawa pesan implisit mengenai magnitude korupsi yang dilakukan seorang petinggi kepolisian.
Dengan memperhatikan sejumlah proyek pengadaan di kepolisian yang rata-rata besar dan masif, mungkin sekali jika magnitude korupsinya juga berbanding lurus dengan itu.
Menjadi radar
Ketiga, dengan perpaduan metode follow the money (mengikuti aliran uang) dan follow the asset (mengikuti aliran aset) pada pelacakan harta koruptor, yang antara lain dilakukan dengan penelusuran sejumlah transaksi mencurigakan pada rekening, posisi dari rekening gendut menjadi strategis. Rekening itu tidak lagi sekadar menjadi alat perburuan harta koruptor, tetapi juga bisa menjadi radar untuk menemukan pihak-pihak lain yang terlibat dalam tindak pidana korupsi.
Tentu masih segar dalam ingatan publik, kasus suap PT Salmah Arowana Lestari dan pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008. Kasus tersebut menjadikan mantan Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji sebagai ”pesakitan”. Namun, apa yang melibatkan Susno ternyata ”beririsan” dengan kasus rekening gendut di kalangan petinggi Polri.
Bongkar rekening gendut
Pada waktu itu, sebagai mantan Wakil Ketua PPATK, Susno sempat didorong oleh beberapa pihak supaya menjadi whistleblower yang membongkar keberadaan rekening gendut yang dimiliki pejabat dan mantan pejabat Polri.
Selain sebagai argumentasi, tiga hal di atas—serta penjelasan sebelumnya—setidaknya menggambarkan suatu situasi pelik, yakni kelindan institusi kepolisian dengan persoalan rekening gendut. Kepelikan ini terjadi dan berlangsung sebagai akibat dari ketidakseriusan Polri menyelesaikan persoalan rekening gendut. Kini, dalam momentum pencalonan kepala Polri, isu itu muncul menjadi ”bola liar”.
Maka, jika benar-benar ingin mendapatkan figur berintegritas dan berkomitmen untuk lahirnya institusi kepolisian yang tidak korup, pencalonan pengganti kepala Polri sebaiknya digunakan sebagai momentum untuk merampungkan pekerjaan rumah menuntaskan soal rekening gendut, sesuatu yang sebenarnya ditunggu publik selama ini seperti halnya ”menunggu godot”.
HASRUL HALILI, Dosen dan Direktur Eksekutif Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM