Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bila Puasa Selama 19 Jam

Kompas.com - 26/07/2013, 11:53 WIB

Muh. Ma'rufin Sudibyo*

KOMPAS.com - Bulan suci Ramadhan 1434 H di manca negara tak hanya berkutat di seputar kapan awal Ramadhan bermula. Tetapi, juga durasi berpuasa setiap harinya di sepanjang bulan suci ini. Indonesia yang terletak di kawasan tropis, variasi durasi puasanya sepanjang tahun Masehi (Tarikh Umum) relatif kecil. Berbeda dengan umat Islam yang tinggal di kawasan sub tropis, khususnya yang berdekatan dengan garis lingkar kutub baik kutub utara maupun kutub selatan. Kawasan ini akan menjalani durasi puasa yang cukup ekstrim, baik terlalu panjang maupun terlalu pendek.

Misalnya, di Liverpool (Inggris). Umat Islam di sana harus menjalani ibadah puasa yang durasinya cukup ekstrim yakni 18 hingga 19 jam per harinya sepanjang bulan suci Ramadhan 1434 H ini. Mereka sudah harus berpuasa setelah masuk waktu Shubuh selepas pukul 01.00 waktu setempat dan baru berbuka puasa saat memasuki waktu Maghrib selepas pukul 20:00 waktu setempat dalam konteks normal. Durasi ini jika tanpa penyesuaian dengan jam musim panas (daylight saving time).

Sebaliknya, umat Islam di Auckland (Selandia Baru) menjalani ibadah puasa Ramadhan 1434 H dengan durasi 11 hingga 12 jam per harinya. Mereka mulai berpuasa jauh lebih lambat daripada Liverpool karena waktu Shubuh baru tiba selepas pukul 06.00 waktu setempat dan berbuka puasa jauh lebih cepat karena waktu Maghrib telah menjelang selepas pukul 17:00 waktu setempat.

Bagi kita di Indonesia yang sedang menikmati puasa Ramadhan 1434 H dengan durasi rata-rata 13 jam per harinya, durasi puasa yang terlalu panjang di Liverpool ataupun terlalu pendek di Auckland tentu terasa aneh, bahkan mungkin ajaib. Bagaimana durasi puasa yang ekstrim seperti itu bisa terjadi dalam bulan suci Ramadhan 1434 H ini?

Gerak semu tahunan

Dasar dari ibadah puasa Ramadhan dan waktu shalat adalah serupa, yakni sama-sama mengacu pada peredaran semu harian Matahari di langit setempat. Puasa Ramadhan secara harfiah dimulai pada saat fajar senyata menyingsing di cakrawala timur, yakni bertepatan waktunya dengan awal Shubuh. Dan, berakhir pada saat Matahari tepat terbenam sempurna di cakrawala barat, yang bersamaan dengan waktu Maghrib.

Sumber: Sudibyo, 2013. Permukaan Bumi yang tersinari cahaya Matahari pada 16 Juli 2013 pukul 16:17 WIB, disimulasikan dengan Sky View Café dengan garis terbitnya Matahari berada di benua Amerika, sementara garis terbenamnya Matahari meliputi Asia tenggara dan Australia. Garis panah 1 menunjukkan panjang siang di Liverpool (Inggris), yang jauh lebih besar ketimbang garis panah 2 untuk Auckland (Selandia Baru). Inilah penyebab mengapa durasi puasa di belahan Bumi utara lebih panjang ketimbang selatan.

Peredaran semu harian Matahari memiliki siklusnya yang khas dan menjadi dasar dari waktu Matahari (waktu istiwa’), yang pada gilirannya dapat pula dikonversi menjadi waktu sipil yang umum digunakan pada masa kini dalam rupa waktu universal (UTC) atau yang dulu dikenal sebagai waktu Greenwich ataupun waktu lokal seperti di Indonesia dengan WIB (UTC+7), WITA (UTC+8) dan WIT (UTC+9). Kini, waktu-waktu shalat harian dan jadwal imsakiyah Ramadhan lebih populer dinyatakan dalam waktu sipil ketimbang waktu Matahari.

Gerak semu harian Matahari sangat dipengaruhi oleh posisi proyeksi Matahari di muka Bumi. Sementara proyeksi ini selalu dinamis dari waktu ke waktu akibat kemiringan sumbu rotasi Bumi yang menghasilkan gerak semu tahunan Matahari. Inilah penyebab muka Bumi secara umum terbagi menjadi tiga kawasan berbeda terkait panjang siang, yakni selisih antara terbit hingga terbenamnya Matahari bagi langit setempat. Ketiganya adalah kawasan tropis, sub tropis dan kutub.

Kawasan tropis berada di antara garis lintang 23,44 LU hingga 23,44 LS dan memiliki panjang siang relatif stabil dengan variasi yang kecil. Sementara kawasan kutub, yang terletak di antara garis lintang 66,44 hingga 90 LU di utara dan 66,44 hingga 90 LS di selatan, memiliki panjang siang sangat tak-stabil dengan variasi yang luar biasa besar.

Dan kawasan sub tropis, yang terjepit di antara kawasan tropis dan kutub, memiliki variasi panjang siang yang besar.

Gerak semu tahunan Matahari pada satu sisi menghasilkan fenomena unik seperti saat Matahari berada di atas kiblat. Di sisi lain, gerak yang sama juga berpengaruh besar terhadap panjang siang bagi kawasan sub tropis dan kutub.

Saat Matahari tepat berada di atas khatulistiwa, yakni pada 20/21 Maret dan 22/23 September, panjang siang di seluruh kawasan adalah sama sehingga hari-hari tersebut dikenal sebagai equinox. Namun, begitu Matahari mulai beringsut ke utara mulailah panjang siang belahan Bumi utara meningkat seiring berlangsungnya musim panas.

Puncaknya terjadi pada 20/21 Juni saat Matahari persis di atas garis lintang 23,44 LU. Saat itu,  kutub utara mengalami siang sepanjang 24 jam per hari, dimana Matahari terus-menerus nampak di langit bahkan pada jam-jam yang seharusnya tergolong malam hari. Sementara bagi kawasan sub tropis utara, panjang siangnya mencapai maksimum.

Sebaliknya, bagi kutub selatan panjang siangnya adalah nol sehingga Matahari tak pernah terlihat meski pada jam-jam yang seharusnya tergolong siang hari. Dan bagi kawasan sub tropis selatan, panjang siangnya mencapai minimum. Kondisi serupa, namun berkebalikan letaknya, akan terjadi tatkala Matahari beringsut ke selatan hingga mencapai garis lintang 23,44 LS pada 21/22 Desember. Kali ini giliran belahan Bumi selatan yang panjang siangnya melonjak.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

MA Tunggu Putusan Hasbi Hasan Inkrah Sebelum Putuskan Statusnya

MA Tunggu Putusan Hasbi Hasan Inkrah Sebelum Putuskan Statusnya

Nasional
Kaesang Dikabarkan Maju Pilkada Bekasi, Grace Natalie: Belum Ada Keputusan DPP

Kaesang Dikabarkan Maju Pilkada Bekasi, Grace Natalie: Belum Ada Keputusan DPP

Nasional
Kejagung: Sandra Dewi Diperiksa Terkait Aset yang Dimilikinya

Kejagung: Sandra Dewi Diperiksa Terkait Aset yang Dimilikinya

Nasional
Panja Revisi UU Penyiaran Sebut Tak Ada Tendensi Membungkam Pers, RUU Belum Final

Panja Revisi UU Penyiaran Sebut Tak Ada Tendensi Membungkam Pers, RUU Belum Final

Nasional
Purnawirawan TNI AL Ketahuan Pakai Pelat Dinas Palsu di Bandara Soekarno-Hatta

Purnawirawan TNI AL Ketahuan Pakai Pelat Dinas Palsu di Bandara Soekarno-Hatta

Nasional
4 Terdakwa Kasus Pembangunan Gereja Kingmi Mile Jalani Sidang Tuntutan

4 Terdakwa Kasus Pembangunan Gereja Kingmi Mile Jalani Sidang Tuntutan

Nasional
KPK Ajukan Kasasi dalam Kasus Advokat Stefanus Roy Rening

KPK Ajukan Kasasi dalam Kasus Advokat Stefanus Roy Rening

Nasional
Ubah Pernyataan, Ketua KPU Kini Sebut Caleg Terpilih Harus Mundur jika Maju Pilkada

Ubah Pernyataan, Ketua KPU Kini Sebut Caleg Terpilih Harus Mundur jika Maju Pilkada

Nasional
Revisi UU MK Dinilai Cenderung Jadi Alat Sandera Kepentingan, Misalnya Menambah Kementerian

Revisi UU MK Dinilai Cenderung Jadi Alat Sandera Kepentingan, Misalnya Menambah Kementerian

Nasional
Didampingi Gibran, Prabowo Bertolak ke Qatar Usai Temui Presiden MBZ di UEA

Didampingi Gibran, Prabowo Bertolak ke Qatar Usai Temui Presiden MBZ di UEA

Nasional
Grace Natalie Bertemu Jokowi, Diberi Tugas Baru di Pemerintahan

Grace Natalie Bertemu Jokowi, Diberi Tugas Baru di Pemerintahan

Nasional
Anggap Hukuman Terlalu Ringan, KPK Banding Putusan Sekretaris MA Hasbi Hasan

Anggap Hukuman Terlalu Ringan, KPK Banding Putusan Sekretaris MA Hasbi Hasan

Nasional
Masuk Prolegnas Prioritas Tak Bisa Jadi Dalih DPR Diam-diam Revisi UU MK

Masuk Prolegnas Prioritas Tak Bisa Jadi Dalih DPR Diam-diam Revisi UU MK

Nasional
Diam-diam Revisi UU MK, DPR Dianggap Kangkangi Aturan

Diam-diam Revisi UU MK, DPR Dianggap Kangkangi Aturan

Nasional
Ketua BPK Bungkam Ditanya soal Dugaan Auditor Minta Rp 12 Miliar ke Kementan

Ketua BPK Bungkam Ditanya soal Dugaan Auditor Minta Rp 12 Miliar ke Kementan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com