Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kuda Troya" bagi MK

Kompas.com - 04/04/2013, 11:59 WIB

Oleh FERI AMSARI

KOMPAS.com - Kehendak politik DPR bisa menyusup melalui seleksi hakim Mahkamah Konstitusi. Kuat dugaan, para politisi Senayan menginginkan agar ”kuda troya politik” bisa diletakkan di jantung pertahanan MK.

Bagi para politisi, kewenangan MK sebagai pelindung konstitusi menjadi penting untuk dipengaruhi. DPR tentu tidak ingin terus dipermalukan dalam persidangan MK. Selama ini, tak berbilang UU tak berkualitas buatan DPR dibatalkan MK. Melalui putusan MK itu, transaksi politik ketentuan perundang-undangan sering dibongkar ke permukaan.

Bahkan, melalui kewenangan perselisihan hasil pemilu, MK dapat mengadili kecurangan penyelenggaraan pemilu. MK dapat membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum yang memenangkan kandidat atau partai tertentu. Akibatnya, putusan MK akan memengaruhi jumlah kursi dan tingkat keterpilihan di legislatif dan eksekutif. Kewenangan MK itu tentu tidak membuat para politisi ”duduk” nyaman dalam menyambut Pemilu 2014.

Melihat kewenangan MK yang besar dalam menata demokrasi, taktik menyusupkan ”kuda troya” bisa terjadi dalam seleksi hakim MK. Ruang itu terbuka lebar karena DPR dan Presiden punya kewenangan menempatkan "orang-orangnya" di MK. Suatu saat, bukan tidak mungkin, MK akan dipenuhi ”perwakilan para politisi” dari DPR dan Presiden. Ketika itu, putusan MK akan dipandang tidak merdeka dari campur tangan politik.

Teori konstitusi modern menghendaki lembaga kekuasaan kehakiman merdeka dari campur tangan lembaga negara lain. Cita-cita yang sama termaktub dalam Pasal 24 UUD 1945 yang menghendaki Mahkamah Agung dan MK tidak tersentuh ”tangan-tangan politik”.

Namun, DPR ”bermain kasar”. Menggunakan ketentuan UU No 24 Tahun 2003 jo UU No 8 Tahun 2011 tentang MK, DPR diberi kewenangan memilih hakim MK. Padahal, ketentuan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945 hanya menentukan hakim MK dapat ”diajukan” MA, DPR, dan Presiden. Kata ”diajukan” tak mesti dimaknai dengan ”memilih”. Bila dimaknai memilih, terjadilah campur tangan ketiga lembaga negara lain (MA, DPR, dan Presiden) ke tubuh MK.

Padahal, menurut Tom Ginsburg (Judicial Appointment and Judicial Independent, 2009), kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu dilihat dari tiga kemerdekaan: (1) kemerdekaan hakim dari kekuasaan lembaga negara lain dan para politisi; (2) merdeka dari ideologi atau tekanan politik tertentu; dan (3) kemerdekaan dari superioritas cabang kekuasaan kehakiman lain.

Mengacu pendapat Ginsburg, teranglah proses seleksi hakim MK tidak akan menghasilkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dari kepentingan politik dan cabang kekuasaan negara lain. Alhasil, bila ”kuda troya politik” merusak MK dari dalam berujung hilangnya kewibawaan putusan MK, wajar kemudian banyak pencari keadilan yang mulai tidak mematuhi putusan sang pelindung konstitusi.

Menyelamatkan MK

MK tidak bisa dibiarkan terus disusupi banyak kepentingan. Penyelamatan terhadap MK perlu dilakukan. Meskipun publik harus mengakui dalam dua periode kepemimpinan ketua MK (Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD) banyak tatanan konstitusi yang terlindungi, bukan tak mungkin kewibawaan MK akan terkikis bila pola seleksi hakim seperti saat ini dipertahankan.

Setidaknya ada dua metode seleksi untuk hakim MK. Pertama, proses seleksi dilakukan cabang kekuasaan independen, yaitu Komisi Yudisial. Hasil seleksi KY kemudian diserahkan kepada DPR dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai perwakilan rakyat. DPR dan DPD tidak lagi melakukan uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana jamak dilakukan DPR selama ini. Parlemen (baca: DPR dan DPD) hanya menyatakan persetujuan atau tidak setuju terhadap calon yang diserahkan KY. Bergabungnya dua/lebih lembaga negara dalam proses seleksi hakim MK itu oleh Ginsburg disebut sebagai cooperative appointment.

Metode kedua dapat dimulai dari MA, DPR, dan Presiden terlebih dulu. Setelah ketiga lembaga itu mengajukan calon-calonnya, KY yang akan melakukan seleksi kepatutan dan kelayakan dan memilih kandidat hakim MK. Agar tidak terjadi perdebatan konstitusional, kandidat pilihan KY itu diserahkan kepada MA, DPR, dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan.

Pelibatan KY, sebagai lembaga independen dalam pemilihan hakim MK, menjadi penting untuk menjauhkan tangan-tangan politik menyentuh MK. Meskipun UUD 1945 membatasi kewenangan KY, hakim MK dapat memberikan tafsir berbeda terhadap kewenangan KY demi menguatkan demokrasi.

Dua metode seleksi hakim MK tersebut setidaknya menjauhkan MK dari kemungkinan menyusupnya ”kuda troya politik”. Jika metode seleksi saat ini dipertahankan, patut diduga DPR dan Presiden memang ingin menyusupkan "sekutunya" ke MK. Ibarat pasukan Akhaia yang mengirimkan patung kuda berisi prajurit penyusup ke dalam kota Troya, DPR dan Presiden ingin menghancurkan MK dari dalam. Jika MK ”dikalahkan” ke kuatan politik, perlindungan hak-hak konstitusional kita pun menjadi redup.

FERI AMSARI Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi FH Universitas Andalas; Anggota Koalisi Selamatkan MK

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Kejagung: Kadis ESDM Babel Terbitkan RKAB yang Legalkan Penambangan Timah Ilegal

Nasional
Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Kejagung Tetapkan Kadis ESDM Babel dan 4 Orang Lainnya Tersangka Korupsi Timah

Nasional
Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Masuk Bursa Gubernur DKI, Risma Mengaku Takut dan Tak Punya Uang

Nasional
Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Sambut PKB dalam Barisan Pendukung Prabowo-Gibran, PAN: Itu CLBK

Nasional
Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Dewas KPK Minta Keterangan SYL dalam Dugaan Pelanggaran Etik Nurul Ghufron

Nasional
Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Soal Jatah Menteri PSI, Sekjen: Kami Tahu Ukuran Baju, Tahu Kapasitas

Nasional
Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Cinta Bumi, PIS Sukses Tekan Emisi 25.445 Ton Setara CO2

Nasional
Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Menpan-RB Anas Bertemu Wapres Ma’ruf Amin Bahas Penguatan Kelembagaan KNEKS

Nasional
Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Banyak Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik, Pengamat: Kaderisasi Partai Cuma Kamuflase

Nasional
PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

PKB Sebut Pertemuan Cak Imin dan Prabowo Tak Bahas Bagi-bagi Kursi Menteri

Nasional
Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan 'Nasib' Cak Imin ke Depan

Fokus Pilkada, PKB Belum Pikirkan "Nasib" Cak Imin ke Depan

Nasional
Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Kritik Dukungan Nasdem ke Prabowo, Pengamat: Kalau Setia pada Jargon “Perubahan” Harusnya Oposisi

Nasional
Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Megawati Tekankan Syarat Kader PDI-P Maju Pilkada, Harus Disiplin, Jujur, dan Turun ke Rakyat

Nasional
Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Langkah PDI-P Tak Lakukan Pertemuan Politik Usai Pemilu Dinilai Tepat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com