Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Dinilai Belum Paham Mafia

Kompas.com - 23/03/2013, 02:53 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi Pemberantasan Korupsi segera menyiapkan konsep untuk memberikan masukan kepada pemerintah guna menyempurnakan draf Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana terkait kewenangan KPK. Untuk itu, KPK akan mengajak kalangan masyarakat sipil dan kampus.

Demikian dikatakan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Jumat (22/3), di Jakarta. Busyro mengatakan hal itu menanggapi ketentuan Pasal 83 RUU KUHAP dan naskah akademis RUU KUHAP yang mengatur tentang izin penyadapan dari hakim komisaris, termasuk bagi KPK.

Ketentuan itu, menurut Busyro, bisa menggagalkan upaya pemberantasan korupsi. Apalagi, saat ini mafia peradilan masih nyata ada. Salah satu bukti adalah penangkapan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejocahyono, Jumat siang, di ruang kerjanya karena diduga menerima suap.

”Apa pemerintah masih belum memahami mafia peradilan masih ada sehingga mencantumkan ketentuan izin penyadapan ke hakim komisaris. Susah benar menyadarkan pejabat,” katanya.

Busyro menyayangkan langkah pemerintah merevisi KUHAP yang tidak melibatkan KPK. Padahal, seandainya dilibatkan sejak awal, KPK akan total terlibat merevisi KUHAP. KPK siap bekerja sama dengan masyarakat sipil dan akademisi perguruan tinggi dalam membahas revisi KUHAP.

Diskriminatif

Busyro menilai pemerintah telah bersikap diskriminatif karena tidak melibatkan KPK, padahal revisi KUHAP merupakan bagian dari pelayanan publik dalam pemberantasan korupsi. ”Satu sisi mengapa Polri dan kejaksaan diminta ikut membahas, karena mereka organ eksekutif. Tetapi Presiden, kan, juga menjalankan kewajiban manajerial pelayanan publik di mana dia tahu di bidang pemberantasan korupsi itu ada KPK. Kenapa KPK tak dilibatkan. Ini cara berpikir yang tak sistemik dan diskriminatif,” ungkapnya.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR yang juga anggota Komisi III DPR Achmad Dimyati mengimbau KPK mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika keberatan dengan isi draf RUU KUHAP. Pemerintah masih dapat menarik naskah RUU itu dari DPR.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, posisi pemerintah sebenarnya jelas dalam soal penyadapan yang dilakukan KPK. ”Dalam hal penyadapan, usulan kami jelas. KPK tetap dikecualikan dan tidak perlu izin hakim pemeriksa pendahuluan. UU KPK tetap lex specialis. KUHAP sebagai lex generalis hanya akan berlaku sepanjang UU KPK tidak mengatur lain,” kata Denny.

Karena itu, Denny mengatakan, pemerintah tidak keberatan menarik kembali naskah akademis RUU KUHAP demi memasukkan klausul pengecualian tersebut (Kompas, 21/3).

Menurut Wakil Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan Arsil, lebih baik pemerintah menarik draf RUU KUHAP.

Alasannya bukan sekadar penyadapan oleh KPK yang memerlukan izin hakim komisaris, melainkan karena pengaturan penyadapan dalam RUU itu masih minim.

”Dalam draf seolah-olah hanya dibahas tentang perizinan dan jangka waktu penyadapan. Padahal, ada banyak hal krusial yang dapat diatur,” ujar dia.

Arsil mencontohkan soal pembuktian suara orang dalam rekaman penyadapan benar-benar suara orang yang menjadi target. ”Itu baru hal sederhana, lalu bagaimana bila ada rekaman percakapan dari orang-orang yang bukan menjadi target penyadapan? Bagaimana memastikan tak ada salah tafsir dalam pembicaraan yang disadap,” ujarnya.

Menurut Arsil, tidak perlu dimasukkan soal pengecualian izin penyadapan oleh KPK di dalam KUHAP. ”Cukup diatur kemudian di dalam UU KPK. Jadi, nantinya yang direvisi itu UU KPK” katanya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Eva Kusuma Sundari, menilai, munculnya keberatan dari KPK tersebut menunjukkan adanya kesalahan pemerintah saat menyusun draf RUU KUHAP. Pasalnya, RUU itu inisiatif pemerintah. ”Mengapa tidak menyosialisasikan dulu sebelum draf RUU itu diserahkan ke DPR,’’ ujar Eva.

Ketika pemerintah sudah menyerahkan draf RUU KUHAP ke ke DPR, seharusnya sudah tidak ada masalah, seperti keberatan dari salah satu lembaga penegak hukum terhadap isinya. ”(Kasus keberatan KPK) ini seperti jadi mainan. Mohon pemerintah yang sopan,” ucapnya.

Kunjungan kerja

Terkait pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP, Komisi III berencana melakukan kunjungan kerja ke Rusia, Perancis, Inggris, dan Belanda. Uchok Sky Khadafi dari Forum Indonesia untuk Transparasi Anggaran memperkirakan biaya kunjungan itu sekitar Rp 6,5 miliar.

Menurut Dimyati, kunjungan itu hanya akan diikuti anggota Komisi III yang menaruh perhatian besar dan akan intensif membahas dua RUU itu. Jadwal pasti kunjungan juga belum ada karena masih harus berkoordinasi dengan negara tujuan. ”Rencananya, saya ke Inggris,” kata politisi dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan ini.

Kunjungan itu dilakukan, lanjut Dimyati, karena sebelum membahas dua RUU itu Komisi III ingin mendapat masukan secara langsung dari negara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon dan continental. Empat negara tersebut dinilai memiliki sistem hukum dengan baik.

Wakil Ketua Komisi III DPR Tjatur Sapto Edy membenarkan tujuan kunjungan kerja tersebut. Dalam pembahasan dua RUU itu, menurut dia, studi banding yang terpenting adalah untuk menggali nilai-nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia. Pasalnya, hukum adalah kristalisasi norma yang hidup dan berkembang di masyarakat.

”Dengan kata lain, kita terjemahkan nilai-nilai Pancasila dalam dua RUU tersebut. Untuk itu, kami akan mengundang akademisi, ahli hukum agama, hukum adat, budayawan, dan pakar lain yang mewakili keragaman di Indonesia untuk memberi masukan,” papar Tjatur.

Tjatur belum memutuskan ikut kunjungan kerja atau tidak. ”Jika nanti dianggap penting, mungkin saya akan berangkat dengan biaya sendiri,” ujarnya.

Ahli hukum pidana korupsi Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, berharap pemerintah dan DPR mengesampingkan kepentingan pribadi dan golongan. ”Pembahasan RUU KUHP dan KUHAP ini rawan kepentingan. Karena itu, masyarakat diharapkan ikut mengawalnya,” katanya. (nwo/AMR/bil/ryo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com