JAKARTA, KOMPAS.com — Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Indra, menuturkan, pasal terkait santet dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyasar pada iklan santet, bukan perbuatannya. Hal tersebut menekankan pada unsur menawarkan diri seperti yang tercantum pada Pasal 293 KUHP itu.
"Ini bukan santetnya, ini delik formil. Jadi, yang dijerat itu penipuannya. Orang yang menawarkan di koran dan lain-lain itu yang dikejar. Apa alat buktinya? Ya itu iklannya," ujar Indra, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (21/3/2013).
Kejahatan-kejahatan ilmu hitam kini mulai diatur pada RUU KUHP yang tengah digodok di Dewan Perwakilan Rakyat. Setiap orang yang berupaya menawarkan kemampuan magisnya bisa saja terancam pidana lima tahun penjara. Aturan tersebut diatur dalam Bab V tentang Tindak Pidana terhadap Ketertiban Umum yang secara khusus dicantumkan dalam Pasal 293 Ayat 1.
Bunyi ayat itu ialah "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".
Sementara di ayat keduanya dicantumkan jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambang dengan sepertiga.
Menurut Indra kata kuncinya terletak pada kalimat "menawarkan diri" yang berarti mengiklankan diri untuk melakukan santet. "Jadi, ini pada posisi menawarkan jasanya. Tidak perlu dibuktikan dia disantet atau tidak. Penawarannya saja. Jadi, barang siapa yang menawarkan diri untuk bisa membuat orang sakit," tutur Indra.
Selengkapnya, ikuti di topik pilihan:
Kontroversi Pasal Santet