Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korupsi, Korupsi, Korupsi..!

Kompas.com - 17/03/2013, 08:50 WIB
Frans Sartono, Putu Fajar Arcana

Penulis

”Hanya saja, kadang saya tetap heran dengan aparat kita. Kenapa, sih, sungkan-sungkan menangkap koruptor kakap macam saya? Ketika saya datang, mereka malah sembunyi...,” kata si koruptor.

Bukankah itu sindiran yang sarkastik? Realitas yang dipahami rakyat saat ini, banyak koruptor berseliweran, kalaupun ditangkap ”cuma” dijatuhi hukuman yang dinilai tidak sesuai dengan berat kesalahannya.

Bersama kelompok Teater Gandrik, Butet juga mementaskan lakon Pandol alias Panti Idola, yang berkisah tentang panti rehabilitasi para koruptor. Bahkan pada April 2013, Gandrik akan mementaskan Gundala Gawat karya Goenawan Mohamad, yang juga berisi perlawanan terhadap korupsi.

Saking kehabisan akal, kata Butet, sebuah negara memanggil seluruh superhero dunia, seperti Gundala, jagoan komik karya komikus Jogja, Hasmy, dalam Gundala Putra Petir. Juga Superman, Batman, dan kawan- kawan untuk membantu memberangus korupsi di negara tersebut. ”Korupsi pada kita sudah gawat...,” kata Butet.

Menurut Butet, perlawanan terhadap korupsi harus menyeluruh. Jika sastra turut serta melakukan serangan pada korupsi, mungkin belum memiliki implikasi hukum. Akan tetapi, setidaknya, ada satu generasi di mana investasi akhlak yang mulia itu sudah dimulai. ”Yang rusak biar saja hilang, generasi baru harus punya akhlak yang lebih baik,” katanya. 

”Kuwi Opo Kuwi” 

Dalam rubrik Catatan Kebudayaan di majalah Horison, November 1972, Mochtar Lubis sudah menulis tentang bagaimana korupsi sudah menjadi budaya di negeri kita. ”Ciri utama kebudayaan korupsi adalah bahwa nilai-nilainya ditentukan oleh uang. Potensinya untuk merusak akhlak dan moral juga di sini,” tulis Mochtar Lubis.

Kebudayaan korupsi, tambahnya, amat merusak nilai-nilai manusia. Kehormatan, martabat manusia, kesetiaan pada bangsa sekalipun dapat dihancurkan dalam waktu singkat.

Begitulah seniman dengan caranya sendiri menunjukkan keberpihakannya yang tegas pada rakyat yang antikorupsi. Jauh sebelum korupsi menggurita, rakyat di negeri ini telah diingatkan oleh para seniman lewat sastra. Juga lewat tembang dolanan ”Kuwi Opo Kuwi” yang populer di masyarakat Jawa sejak era 1950-an. Tembang gubahan Ki Tjokrowarsito (1909-2007)

itu diperdengarkan dalam pembukaan pameran lukisan karya Aris Budiono Sadjad berjudul Perang Suci Melawan Korupsi di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/3) malam. Begini bunyinya: 

Kuwi opo kuwi e kembang melathi

sing tak puja-puji aja dha korupsi

Merga yen korupsi negarane rugi

Piye to kuwi, aja ngona - ngona, ngono

** 

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com