JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi akan membentuk komite etik untuk menelusuri kebocoran dokumen yang diduga surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama Anas Urbaningrum. Komite etik hanya dibentuk jika pembocoran dokumen tersebut diduga melibatkan unsur pimpinan KPK. Namun, jika hanya diduga melibatkan pihak di bawah pimpinan, KPK akan membentuk dewan pertimbangan pegawai (DPP).
"Kalau benar dibocorkan oleh orang-orang KPK maka ada pengusutan apakah melanggar kode etik atau tidak. Kalau yang membocorkan selevel di luar pimpinan, maka tim pengawas akan bikin DPP (dewan pertimbangan pegawai)," kata Juru Bicara KPK Johan Budi, di Jakarta, Senin (11/2/2013). Menurut dia dokumen itu hanya diketahui beberapa orang, di antaranya, pimpinan, deputi penindakan, direktur penyidikan, direktur penyelidikan, dan penyidik/penyelidik yang tergabung dalam satuan tugas Hambalang.
Namun sebelum membentuk komite etik dan DPP, lanjut Johan, KPK akan meneliti terlebih dahulu apakah dokumen semacam sprindik yang beredar di kalangan wartawan itu memang berasal dari KPK atau bukan. Jika dokumen itu bukan berasal dari KPK atau diduga palsu, kata dia, KPK mempersilakan orang yang dirugikan atas penyebaran dokumen tersebut untuk melaporkan kepada Kepolisian.
Johan juga menegaskan, KPK belum menerbitkan sprindik atas nama Anas Urbaningrum. Kalaupun dokumen yang beredar itu dari KPK, dia memperkirakan itu bukanlah sprindik melainkan dokumen atau proses administrasi sebelum satu sprindik diterbitkan. "Jadi semacam draf persetujuan. Apalagi itu tidak bernomor dan tidak lengkap tanda tangan pimpinan KPK," ujar Johan.
Adapun yang disebut sprindik, menurut Johan, hanya mencantumkan satu tanda tangan pimpinan KPK. Sprindik juga jelas nomornya, serta memuat nama-nama penyidik/penyelidik yang tergabung dalam satuan tugas Hambalang.
Dokumen yang diduga sprindik atas nama Anas Urbaningrum pertama kali muncul dalam pemberitaan suatu situs media online. Dalam foto yang ditampilkan, dokumen tersebut ditandatangani tiga unsur pimpinan KPK, yakni Abraham Samad, Adnan Pandu Praja, serta Zulkarnaen. Dokumen itu menyebut Anas sebagai tersangka, dengan sangkaan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berita terkait dapat dibaca dalam topik: Skandal Proyek Hambalang
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.