Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kepemimpinan Trisakti

Kompas.com - 02/01/2013, 02:16 WIB

Dari sekitar 120 juta angkatan kerja, angka pengangguran terbuka tahun 2012 masih 7,61 juta jiwa atau 6, 32 persen. Sementara data MDG (Tujuan Pembangunan Milenium) memperlihatkan harapan hidup kita memprihatinkan. Sejak tahun 2009 Indonesia mengalami 307 angka kematian setiap 100.000 kelahiran, masih jauh dari target MDG yang 105 kematian dari 100.000 kelahiran pada 2015.

Problem ketimpangan sosial bukanlah semata-mata persoalan ekonomi. Juga terkait persoalan kepemimpinan dan institusi politik yang memproduksi dan bekerja melalui nakhoda kepemimpinan tersebut.

Selama ini rakyat menaruh harapan atas institusi demokrasi untuk membereskan persoalan- persoalan publik. Namun, aktivitas kepemimpinan untuk memproduksi kebijakan pada kenyataannya tak mampu menempatkan negara sebagai pembela bagi mayoritas mereka yang papa, pembendung bagi kerakusan malapraktik korporasi, serta penghukum bagi kekuatan oligarki bisnis-politik yang bekerja melalui mekanisme korupsi dan penjarahan aset publik.

Pada wilayah kebudayaan, kita berhadapan dengan persoalan terkikisnya prinsip hidup bergotong royong. Suatu prinsip hidup yang tak saja menekankan pada pentingnya menghormati pluralisme Indonesia, serta saling menolong dan saling berjuang untuk kemerdekaan yang lainnya sebagai bagian dari warga Indonesia.

Adapun yang kita saksikan saat ini adalah betapa para pemimpin politik hanya menyepakati prinsip-prinsip kebinekaan secara normatif, tetapi tidak sungkan menggunakan isu-isu diskriminatif suku, agama, ras, antargolongan (SARA) ketika berhubungan dengan kepentingan elektoral politik. Kepemimpinan nasional kita terlibat dengan mendiamkan kekerasan sosial saat kalangan minoritas di berbagai wilayah negeri ini kehilangan hak-hak sipilnya. Otoritas hukum sebagai penjamin perlindungan bagi rakyat untuk memiliki kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah tidak bekerja di hadapan suara-suara yang mengklaim sebagai mayoritas.

Kepemimpinan organik

Berhadapan dengan krisis kepemimpinan kita dalam mewujudkan prinsip-prinsip utama dalam gagasan Trisakti di atas, maka ada yang harus kita pertimbangkan dalam menyoal kepemimpinan nasional sebelum menyodorkan tokoh-tokoh alternatif. Penting untuk kita ingat adalah Indonesia bukan hanya Jawa, lebih khusus lagi bukan hanya Jakarta.

Proses seleksi kepemimpinan nasional bukan semata-mata melakukan survei melalui pertanyaan tertutup dengan menyodorkan tokoh-tokoh nasional untuk dipilih oleh responden dari Sabang sampai Merauke. Melakukan seleksi kepemimpinan Indonesia, pertama-tama, bukan hanya soal mencari tokoh, melainkan juga menghimpun detail persoalan yang dihadapi setiap wilayah dengan segenap lokalitasnya sebelum diabstraksikan sebagai persoalan nasional.

Memilih pemimpin republik harus dilakukan melampaui jajak pendapat teknokratis. Caranya dengan mulai melibatkan entitas masyarakat sipil di tingkat lokal untuk membuka pertanyaan dan menemukan figur kepemimpinan organik yang terlibat dengan persoalan keseharian rakyatnya.

Hanya dengan jalan mendengarkan suara-suara kebinekaan Indonesia, yang dilakukan mendahului seleksi formal pemilu, maka kita dapat memperjuangkan kembali prinsip-prinsip Trisakti. Suatu prinsip yang terbukti tidak mampu dijawab generasi lama yang tengah memimpin republik kita saat ini.

Airlangga Pribadi Kusman Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com