JAKARTA, KOMPAS.com - Para politisi Senayan diterpa citra negatif atas laporan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan. Para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap kerap meminta jatah kepada pemerintah untuk menggolkan sebuah anggaran. Laporan Dahlan bukan kasus pertama di mana anggota Dewan dikabarkan melakukan kolusi maupun korupsi.
Beberapa politisi Senayan bahkan sudah diseret ke meja hijau atas kasus-kasus korupsi seperti M Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Wa Ode Nurhayati. Banyaknya politisi yang melanggar untuk mendapatkan uang ekstra ini ditengarai tidak hanya bermotif untuk memperkaya diri.
"Motif para politisi lakukan peras-memeras tidak hanya ingin memperkaya diri, tapi karena ingin balas jasa politik," ujar pengamat politik dari The Indonesian Institute, Hanta Yudha, Senin (3/12/2012)
Selain itu, Hanta menilai para politisi melakukan tindakan korup karena harus membalikkan modal saat kampanye. "Motif lainnya bisa mengisi pundi-pundi partai, jadi untuk dana politik partai yang tidak bisa sedikit," tuturnya.
Menurut Hanta, persoalan dasar dari perilaku korup politisi Senayan ini terkait kegagalan dan kerapuhan sistem pendanaan partai politik. Anggota partai diwajibkan membayar iuran besar kepada partainya. Semakin besar iuran diberikan, maka akan semakin tinggi posisi yang didapatnya. Tekanan partai kepada anggotanya untuk mengisi kas partai ini, lanjut Hanta, merupakan imbas dari liberalisme pemilu tanpa adanya pembatasan dana kampanye.
"Dengan biaya politik sangat besar, menuntut politisi mendapatkan sumber dana besar pula, sementara APBN sangat kecil. Fasilitas negara kepada parpol juga terbatas," kata Hanta.
Penyebab lainnya, lanjut Hanta, adalah sistem transaksional dalam proses rekrutmen di partai politik. Solusi terbaik dari persoalan ini adalah parpol harusnya dibiayai oloeh publik melalui APBN dan diberikan fasilitas lewat mekanisme pajak.
"Jika publik kemudian ada pelanggaran yang dilakukan parpol, harus ada sanksi tegas saat ada parpol meraup dana tidak resmi. Lalu ada pertanggungjawaban jelas kalau ada pembuktian terbalik, kalau melanggar dicabut," tandas Hanta.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.