JAKARTA, KOMPAS.com - Dua tahun menjelang Pemilu 2014, terus dirilis sejumlah hasil survei tentang calon presiden dan wakil presiden.
Namun, sebagian besar survei itu cenderung mengutamakan popularitas dan elektabilitas, sehingga memunculkan nama-nama yang itu-itu saja.
"Untuk menjaring calon pemimpin nasional lebih luas, diperlukan survei alternatif. Survei itu diharapkan tak hanya terpaku pada faktor popularitas dan elektabilitas, melainkan mau serius mengungkap karakteristik pemimpin ideal, masalah bangsa, dan tokoh-tokoh yang dianggap mampu mengatasinya," kata pengamat politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Ari Dwipayana, di Jakarta, Senin (22/10/2012).
Beberapa hasil survei belakangan ini menggambarkan, calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2014 masih didominasi para elite partai politik lama. Sebut saja, di antaranya, Megawati Soekarno Putri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Prabowo Subiyanto (Partai Gerindra), Aburizal Bakrie (Partai Golkar) , atau Hatta Rajasa (PAN).
Ari Dwipayana menilai, survei yang mengandalkan faktor popularitas (keterkenalan) dan elektabilitas (keterpilihan) cenderung berkutat pada nama-nama lama, termasuk yang pernah maju dalam pemilu sebelumnya.
Hasil survei semacam itu seolah menggambarkan, tidak ada alternatif selain tokoh-tokoh tersebut. Ini akan mempengaruhi masyarakat pemilih, bahkan bisa menjadi bagian dari kampanye bagi sosok-sosok yang memperoleh peringkat tinggi.
"Kemunculan nama-nama itu juga bisa memengaruhi para donator untuk menyokong dana bagi capres dan cawapres Pemilu 2014. Padahal, sebenarnya masih ada stok tokoh lain, meski belum banyak disebut di panggung politik nasional," katanya.
Untuk itu, lanjur Ari Dwipayanan, lembaga survei hendaknya tidak terpaku pada faktor popularitas dan elektabilitas saja, melainkan mau sungguh-sungguh membantu mencari sosok pemimpin nasional bangsa Indonesia ke depan.
Pertanyaan survei bisa ditambah dengan kriteria pemimpin ideal, masalah-masalah besar bangsa, dan siapa tokoh-tokoh yang dianggap mampu mengatasinya.
"Survei semacam itu mendorong masyarakat menjadi kritis karena mengajak mereka mencari dan memikirkan nama-nama lain di luar yang sudah banyak beredar," kata Ari.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.