JAKARTA, KOMPAS.com - Citra partai dan politisi yang terlibat korupsi semakin buruk dan dukungan publik menurun. Masyarakat pemilih bisa benar-benar menghukum partai atau politisi semacam itu dengan tidak memilihnya pada Pemilu 2014 nanti.
"Pemilih semakin cerdas, dan mereka mengamati prilaku para kader partai. Jika para politisinya terlibat korupsi, publik akhirnya akan memberikan sanksi, yaitu tidak memilih partai dan calon anggota legislatifnya dalam Pemilu," kata peneliti korupsi politik Indonesia Cooruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan, di Jakarta, Selasa (16/10/2012).
Hasil survei Lembaga Survei Nasional memperlihatkan, partai yang kadernya paling banyak terlibat korupsi menurut responden adalah Partai Demokrat (51,4 persen responden), Partai Golkar (5,4 persen), dan PDI-P (2,4 persen). Ini menjelaskan, kenapa elektabilitas atau keterpilihan Partai Demokrat terus menurun belakangan ini.
Menurut Abdullah Dahlan, perilaku politisi atau kader partai yang terlibat korupsi berdampak buruk pada citra partai. Lembaga politik itu dianggap gagal menjalankan fungsi kepartaiannya. Presepsi publik itu merupakan gejala awal dan akan berpengaruh pada elektabilitas atau keterpilihan politisi dan partai tersebut dalam Pemilu.
"Publik tidak memilih dalam Pemilu merupakan hukuman terhadap partai beserta politisinya yang korup. Label partai korup merupakan sanksi yang harus diterima partai akibat gagal membangun partai yg sehat dan amanah," katanya.
Sanksi semacam itu bisa terus dikembangkan menjadi gerakan bersama untuk memberikan menghukum partai mana pun yang gagal mengarahkan para kadernya untuk bekerja dengan amanah.
Menjelang Pemilu, masyarakat bisa mempublikasikan catatan jejak rekam masing-masing partai dan para politisi di masing daerah pemilihan (dapil). Itu upaya untuk terus mengingatkan memori publik akan perilaku partai yang buruk.
"Jika diperlukan, bisa juga diusulkan untuk memberikan sanksi lebih berat lagi, yaitu partai yang terbukti korup dibekukan sementara atau tidak diloloskan sebagai peserta Pemilu," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.