JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah RI dinilai kurang memberikan perhatian kepada petani tembakau dan industri-industri kecil yang berhulu pada tembakau. Sebaliknya, pemerintah dianggap lebih memayungi kepentingan industri rokok internasional dan kepentingan perdagangan global.
Pandangan tersebut disampaikan beberapa pembicara dalam diskusi bertema "Kretek versus Kapitalisme Global" di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (13/9/2012). Peneliti institute for Global Justice, Salamuddin Daeng, mengutarakan bahwa meskipun ada jutaan orang yang menggantungkan hidup dari pertanian tembakau ataupun usaha kecil di bidang rokok kretek, subsidi dan perlindungan dari pemerintah hampir tak terlihat.
"Pemerintah Amerika dan negara-negara Eropa saja sangat melindungi pertanian tembakau. Mereka memberikan subsidi dalam banyak aspek dalam hal tembakau. Tetapi di sini sepertinya ingin dihancurkan. Itu patut dipertanyakan," kata Salamuddin.
Oleh karena itu, ia menilai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.04/2010 mengenai Hubungan Istimewa Perusahaan Rokok dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tembakau justru berdampak buruk bagi industri rokok Tanah Air.
Hal senada disampaikan Poempida Hidayatullah, anggota Fraksi Golkar DPR RI. Ia menjelaskan, industri rokok menyerap tenaga kerja yang sangat besar. Tidak hanya itu, kontribusi rokok untuk APBN menempati urutan ketiga dengan nilai mencapai puluhan triliun rupiah.
"Ada 30 juta orang yang bergantung pada industri rokok. Mulai dari pengusaha besar, menengah dan kecil, petani, pengecer, bahkan hingga konsumen. Kalau industri ini dimatikan, entah apa dampaknya," ujar Poempida.
Atas dasar itu, anggota Komisi IX DPR RI itu berharap penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebaiknya dievaluasi atau ditunda. Dengan kondisi politik yang memanas menjelang Pilpres 2014, ia mengkhawatirkan gejolak yang terjadi pada industri rokok bisa menjadi bahan permainan politik.
"Ini kan dekat dengan 2014, Pemilihan Umum. Digoyang sedikit saja, barangkali ada kucuran uang, dan uangnya bisa digunakan untuk kepentingan politik," kata Poempida.
Anggota Komisi IX, Rieke Dyah Pitaloka, menilai pemerintah terlalu berupaya memayungi kepentingan bisnis asing dalam kebijakan tembakau dan rokok. Ia melihat, potensi industri tembakau secara nasional sangat berpotensi mendatangkan peluang yang besar. Peluang tersebut justru mengundang korporasi-korporasi asing mengintip peluang mendulang keuntungan. Sayangnya, bukannya berpihak pada industri nasional, pemerintah lebih mengarahkan perhatian pada keuntungan yang diperoleh dari investor asing.
"Saat ini industri tembakau kita sangat bagus. Asing tidak senang. Mereka lebih senang kalau kita jadi konsumen dan tempatnya buruh dengan upah murah," kata Rieke dalam kesempatan yang sama.
Oleh karena itu, Rieke dan pembicara lainnya menduga, PMK dan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tembakau merupakan penyaluran kepentingan asing yang dibingkai dalam bentuk peraturan pemerintah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.