Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Rohingya dan Demokrasi Myanmar

Kompas.com - 03/08/2012, 02:07 WIB

Namun, sejak 1960-an, rezim militer di bawah Jenderal Ne Win melakukan pendekatan baru untuk menghentikan pemberontakan di samping operasi militer, yaitu ”program pangkas empat”: memangkas akses pangan, dana pembangunan, kecerdasan, dan akses ke pemerintahan. Program pangkas akan berhenti jika etnis minoritas menghentikan pemberontakan (Martin Smith, 1999).

Kebijakan ini menyebabkan etnis minoritas makin menderita. Untuk itu, hanya perlu pemantik, negara bagian Rakhine, yang menjadi salah satu daerah termiskin dan selalu menyusahkan Yangoon karena pemberontakannya (sekarang Naypyidaw, ibu kota pemerintahan), mudah terbakar konflik.

Akan tetapi, karena dari segi jumlah etnis bertikai Rohingya (Muslim) kalah dibandingkan Arakan (Buddha), realitas konflik itu terpotret sebagai pembantaian minoritas Muslim oleh negara mayoritas Buddha. Di tambah Pemerintah Myanmar seperti membiarkan pembantaian itu, bahkan sementara jadi sekutu bagi etnis Arakan. Ada ”kesadaran nasional”: Rohingya bukan asli Myanmar dan harus kembali ke tanah leluhurnya.

Ambiguitas demokrasi

Di sisi lain, kebangkitan gerakan oposisi nasional oleh Aung San Suu Kyi dan partainya LND tak bersinergi dengan gerakan-gerakan persamaan hak dari etnis minoritas. Bahkan, untuk kasus Rohingya, tokoh demokrasi itu tak mengeluarkan ”komentar yang mengganggu” pemerintahan junta militer. Suu Kyi masih berpikir ulang merespons isu sensitif itu, meski partainya telah memiliki posisi tawar yang cukup kuat pasca-pemilu legislatif.

Pada level internasional, PBB dan ASEAN juga tak menunjukkan sikap progresifnya dalam menyelesaikan krisis di Rakhine. PBB berdalih susahnya akses untuk memasuki negara kedua terbesar di Asia tenggara itu. ASEAN sendiri macet karena kepemimpinan tengah berada di tangan Myanmar. Di sisi lain, dunia Islam juga tidak berbuat banyak dalam menyahuti masalah ini.

Banglades dan Indonesia yang menjadi mayoritas Muslim juga tidak menunjukkan sikap empatik yang benar ketika menangani pengungsi Rohingya. Banyak pengungsi yang menyeberang ke Banglades dikembalikan ke Myanmar, yang berarti mendorong ke neraka kematian.

Indonesia mestinya bisa memberikan solusi konstruktif untuk kurangi derita Rohingya, baik melalui kampanye, diplomasi, maupun kemanusiaan. Bukan mengumbar sentimen keagamaan demi mengganaskan bara perang baru.

Teuku Kemal Fasya Dosen Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com