Pengantar Redaksi:
Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta 11 Juli 2012 merupakan momentum penting untuk perbaikan Ibu Kota lima tahun ke depan. Untuk itu, ”Kompas” bekerja sama dengan tim pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia melakukan sejumlah penelitian dan peliputan. Hasilnya dipublikasikan secara berturut-turut mulai Sabtu (23/6) ini hingga Sabtu pekan
Keberhasilan dan kemajuan masyarakat banyak bergantung pada perilaku warganya. Pemimpin tentu punya pengaruh besar, tetapi tanpa relasi memadai antara pemimpin dan pengikutnya, masyarakat tak dapat berkembang menjadi lebih baik.
Untuk memahami kepemimpinan yang sebaiknya dijalankan di Jakarta, perlu pemahaman perilaku politik warga Jakarta. Kami memaparkan tergolong jenis pengikut macam apa warga Jakarta dan bagaimana perilaku politik mereka.
Robert Kelley (1992) menjelaskan, followership (kepengikutan) menggunakan dua dimensi kualitas pengikut: independen dan berpikir kritis versus dependen dan berpikir tidak kritis; tingkah laku aktif versus pasif. Orang independen dan pemikir kritis berpikir lebih tajam, dalam, dan luas. Mereka tak terpaku pada panduan dan prosedur, menyadari dampak tindakan, berkehendak kreatif dan inovatif, serta menawarkan kritik konstruktif.
Orang dependen dan pemikir tidak kritis tidak menyadari kemungkinan lain, tak berkontribusi terhadap pengembangan kreatif masyarakat. Mereka menerima ide pemimpin tanpa berpikir, terpaku prosedur atau instruksi.
Orang aktif terlibat penuh dalam masyarakat, berinisiatif memecahkan masalah, berinteraksi dengan orang dari berbagai level, dan mau mengerjakan lebih dari tugas yang diwajibkan. Sebaliknya, orang pasif selalu memerlukan pengawasan dan dorongan dari pemimpin. Keterlibatan dan interaksi mereka terbatas pada apa yang diinstruksikan dan menghindari tanggung jawab lebih dari tugas yang diwajibkan.
Interaksi dua hal itu menghasilkan lima jenis pengikut,
Survei terhadap 808 warga Jakarta dilengkapi data kualitatif dari focus group discussion dan wawancara, menunjukkan kebanyakan warga Jakarta tergolong pengikut pragmatis (59,03 persen) (