Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, sudah diatur persyaratan untuk bisa diangkat menjadi hakim agung.
Persyaratan itu adalah pertama, calon yang berasal dari hakim karier harus memiliki pengalaman selama 20 tahun menjadi hakim, termasuk sekurang-kurangnya tiga tahun menjadi hakim tinggi, selain syarat umum, pendidikan, dan lain-lain.
Kedua, calon yang berasal dari nonkarier hakim antara lain disyaratkan berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 20 tahun, selain syarat umur, pendidikan, dan lain-lain.
Ketentuan tersebut jelas menunjukkan bahwa seorang hakim, untuk dapat dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai calon hakim agung, harus hakim tinggi yang mempunyai masa kerja hakim tinggi minimal tiga tahun. Apabila Komisi Yudisial membuka kesempatan kepada hakim tingkat pertama yang bergelar doktor untuk mendaftar sebagai calon hakim agung, hal itu sama sekali tidak mempunyai dasar dan landasan hukum.
Seandainya Komisi Yudisial tetap menerima pendaftaran calon hakim agung dari hakim tingkat pertama, maka sama saja mereka mengulangi peristiwa tahun lalu yang sesungguhnya ditentang oleh Mahkamah Agung.
Saya membaca berita di Kompas, 13 Juni 2012 bahwa dua hakim pengadilan negeri yang ”nekat” ikut seleksi akan dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Agung. Dihukumnya para hakim tersebut adalah akibat dari peranan yang besar dari Komisi Yudisial yang telah ”menjerumuskan” hakim ke lembah pelanggaran hukum. Pelanggaran undang-undang oleh suatu institusi tentu tidak bisa dibiarkan.
Komisi III DPR yang mempunyai tugas pengawasan seharusnya jeli melihat pelaksanaan tugas dari mitra kerjanya. Suatu institusi di dalam suatu negara hukum harus menjadi contoh dan suri teladan akan kepatuhannya terhadap suatu undang-undang. Saya kira hal seperti ini akan lebih bermakna daripada mengurusi pemindahan tempat sidang perkara korupsi.