Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perekrutan Hakim Agung

Kompas.com - 18/06/2012, 02:02 WIB

Merusak sistem pembinaan

Pembinaan karier hakim dimulai dari calon hakim. Selama dua tahun mereka dididik dan ditempa melalui pendidikan dan magang, sebelum kemudian

dapat diangkat sebagai hakim. Pendidikan calon hakim tersebut hampir sama dengan di Belanda dan Perancis. Mereka yang diangkat jadi hakim baru dapat diangkat sebagai wakil ketua di kelas II setelah mereka minimal tujuh tahun menjadi hakim.

Proses pembinaan mereka dilanjutkan di pengadilan kelas I-B dan kelas I-A. Untuk bisa diangkat menjadi hakim tinggi, seorang hakim harus punya masa kerja minimal 15 tahun. Karena itulah, untuk seseorang yang memilih profesi sebagai hakim, jenjang karier sampai menjadi hakim agung harus dilaluinya. Tidak ada istilah lompat pagar.

Sebenarnya tahun lalu (2011), Mahkamah Agung telah melarang hakim yang tidak memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi hakim agung yang diadakan Komisi Yudisial. Kalau mereka tetap akan maju mengikuti seleksi itu, dia harus mengundurkan diri sebagai hakim. Namun, hal tersebut tidak menjadi pertimbangan Komisi Yudisial. Mereka menganggap kebijakan Mahkamah Agung itu bersifat internal sehingga tidak perlu diperhatikan oleh Komisi Yudisial.

Memang surat-surat Mahkamah Agung bersifat internal, tidak mengikat institusi lain. Namun, Komisi Yudisial seharusnya menangkap isi dan makna surat tersebut, sebagai peringatan kepada siapa pun agar tidak melanggar hukum dan tidak merusak sistem pembinaan karier hakim.

Ketidakpedulian Komisi Yudisial terhadap sistem pembinaan karier hakim yang dilakukan Mahkamah Agung menunjukkan ”ego sektoral”-nya. Seharusnya Komisi Yudisial bersama-sama membina para hakim agar lebih profesional, bukan sekadar mencari-cari kesalahan hakim agar dijatuhi sanksi.

Semoga tulisan ini akan membuka saling pengertian positif antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Harifin A Tumpa Mantan Ketua Mahkamah Agung

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com