Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Antasari Azhar Minta Keadilan

Kompas.com - 04/06/2012, 18:45 WIB
Suhartono

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com- Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar melalui penasehat hukumnya, Maqdir Ismail, menilai putusan Mahkamah Agung terhadap kliennya janggal, tak berdasar hukum dan keadilan. Putusan MA itu menguatkan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Oleh sebab itu, Antasari meminta keadilan bagi kasusnya. Ia minta Komisi Yudisial menelaah proses keputusan majelis hakim di Mahkamah Agung (MA) saat menilai pengajuan PK (Peninjauan Kembali) yang diajukannya. 

Kalau perlu, KY menyelidiki majelis hakim MA yang mengambil keputusan tersebut, di antaranya Ketua MA Harifin A Tumpa.

Hal itu diungkapkan Maqdir Ismail kepada Kompas, Senin (4/6/2012) sore ini di Jakarta.

"Salah satu butir penting dalam laporan dikatakan, pengadilan hingga Peninjauan Kembali (PK) tidak pernah memepertimbangkan fakta Antasari Azhar adalah seorang jaksa aktif. Dalam UU Kejaksaan, terhadap jaksa aktif, semua proses hukum harus mendapat izin dari Jaksa Agung," ujar Maqdir.

Antasari sebelumnya divonis bersalah dalam kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen dan divonis 18 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Putusan itu kemudian diperkuat di tingkat banding dan kasasi oleh MA.

Perbedaan perlakuan

Ia memberi contoh, dalam perkara Antasari tidak pernah dikeluarkan izin dari Jaksa Agung Hendarman Supandji untuk memproses hukum. Akibatnya, ada perlakuan berbeda dengan Jaksa Esther Tanak dan Dara Veranita, jaksa yang terlibat jual beli barang bukti berupa ekstasi.

"Keduanya baru ditahan oleh Penyidik Polda Metro Jaya setelah mendapat izin dari Jaksa Agung. Kenapa Antasari tidak?" tanya Maqdir lagi.

Pertimbangan putusan PK MA juga janggal. "Dikatakan, meninggalnya almarhum Nasrudin Zulkaranen memang tidak bisa disangkal akibat luka tembak. Yang disangkal adalah penyebab kematiannya bukan karena adanya perintah dari Antasari Azhar. Dan yang dipersoalkan dalam PK-nya Antasari, pembunuhan terhadap almarhum Nasrudin Zulkarnaen, tidak dengan senjata yang dijadikan barang bukti yaitu Revolver S&W special 0,38 yang dijadikan barang bukti. Namun, pistol lain," jelasnya.

Maqdir mengatakan, pertimbangannya Majelis hakim PK juga mengabaikan dan tak mempertimbangkan perbedaan anak peluru yang terdapat pada tubuh almarhum Nasrudin Zulkarnaen. "Padahal, menurut ahli forensik Widodo Harjoprawito, perbedaan kedua anak peluru tersebut membuktikan almarhum ditembak dengan dua senjata yang berbeda. Namun, dalam fakta persidangan justru senjata yang digunakan sebagai bukti hanya Revolver S&W special 0,38," ujarnya.

Menurut Maqdir, yang paling aneh dan tak masuk akal, pertimbangan Majelis Hakim PK halaman 144. "Terhadap Bukti PK-12 berupa hasil penyadapan KPK, tentang tidak adanya SMS dari terpidana kepada korban bukanlah merupakan bukti baru, karena ketiadaan SMS itu bukanlah menunjukkan ketidakada hubungannya antara terpidana dan korban," paparnya.

Adapun penyadapan oleh Polri, lanjut Madir, malah tidak menunjukkan adanya ancaman atas diri terpidana. "Akan tetapi, terpidana menggunakan kewenangan yang ada tetap memerintahkan penyadapan melalui staf analis informasi KPK," papar Maqdir lagi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

    Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

    Nasional
    PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

    PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

    Nasional
    Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

    Dua Kali Absen, Gus Muhdlor Akhirnya Penuhi Panggilan KPK

    Nasional
    Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

    Ganjar Tegaskan Tak Gabung Pemerintahan Prabowo, Hasto: Cermin Sikap PDI-P

    Nasional
    Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

    Kelakuan SYL Minta Dibayarkan Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta, Bawahan Kebingungan

    Nasional
    Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

    Gibran Siap Berlabuh ke Partai Politik, Golkar Disebut Paling Berpeluang

    Nasional
    PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

    PPDS Berbasis Rumah Sakit, Jurus Pemerintah Percepat Produksi Dokter Spesialis

    Nasional
    Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

    Polisi dari 4 Negara Kerja Sama demi Tangkap Gembong Narkoba Fredy Pratama

    Nasional
    Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

    Soal Peluang Duetkan Anies-Ahok, PDI-P: Masih Kami Cermati

    Nasional
    KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

    KPK Kembali Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Singgung Jemput Paksa

    Nasional
    Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

    Hamas Minta JK Turut Serta dalam Upaya Damai di Palestina

    Nasional
    KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

    KPU Pertanyakan Klaim PPP Kehilangan 5.000 Suara di Sulsel

    Nasional
    KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

    KPU Bantah Dalil Sengketa Irman Gusman yang Ngotot Maju DPD

    Nasional
    Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

    Kontak Senjata hingga Penyanderaan Pesawat, Rintangan Pemilu 2024 di Papua Tengah Terungkap di MK

    Nasional
    Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

    Jaksa KPK Sebut Dana Rp 850 Juta dari SYL ke Nasdem untuk Keperluan Bacaleg

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com