Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Tanpa Pamrih di Ruang Forensik

Kompas.com - 15/05/2012, 03:25 WIB

Penyusunan potongan tubuh korban Sukhoi ini di bawah kendali tim DVI Indonesia. Mereka bekerja di tempat yang terisolasi sehingga tidak sembarang orang dapat menemui di RS Polri.

Nugroho, salah satu anggota tim DVI, mengaku tak lagi mengenal waktu. Jam kerjanya bisa pagi, siang, malam, dan dini. ”Kesepakatan kami, kalau sudah KO, boleh berhenti kerja. Jika masih kuat, bisa melanjutkan pekerjaan,” katanya.

Di tengah beban berat pekerjaan, mereka bertugas demi kemanusiaan tanpa ada insentif. Bagi ahli forensik kepolisian, mereka melakukan tugasnya seperti biasa. Hal ini juga berlaku bagi ahli forensik di luar kepolisian. Selain dari Universitas Airlangga, mereka berasal dari Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Gadjah Mada, lembaga riset, rumah sakit, dan tiga di antaranya ahli forensik Rusia.

Relawan tersebut umumnya merupakan guru-guru besar forensik di sejumlah universitas. ”Awalnya mereka menghubungi kami, katanya ingin bergabung. Silakan saja, saya salut dengan jiwa relawan mereka,” tutur Agus.

Menahan diri

Ketua Umum Himpunan Psikolog Jakarta Raya Jo Rumeser yang dihubungi terpisah mengimbau, jika kondisi jenazah korban sangat memprihatinkan, lebih baik kerabat dan teman-teman korban menahan diri untuk tidak melihat karena bakal membangkitkan kesedihan. Cukup dua atau tiga saksi keluarga terdekat saja yang melihat jenazah di kamar jenazah. Setelah itu, jenazah atau bagian jenazah kembali dibungkus dan dirapikan.

”Jenazah yang tampil memprihatinkan akan merusak kenangan membanggakan saat korban masih hidup. Jadi, biarkan kerabat dan teman-teman mengenang kebaikan korban tanpa bayangan jenazah korban yang dikhawatirkan bakal mengganggu,” papar Jo.

Nah, persoalan utamanya adalah kepastian korban lewat uji DNA. Hasil uji DNA ini dibutuhkan sebagai landasan penerbitan surat kematian untuk menjadi landasan hukum bagi mereka yang ditinggalkan.

Jo mengimbau kerabat dan teman-teman korban lebih memusatkan perhatian pada langkah yang harus dilakukan untuk membantu keluarga korban yang ditinggalkan, terutama terhadap anak-anak atau istri korban yang dalam kondisi serba terbatas atau bahkan serba sulit secara sosial dan ekonomi.

”Lebih baik kerabat dan teman-teman korban memikirkan, misalnya, bantuan apa yang paling tepat untuk keluarga yang ditinggalkan. Bantuan keuangankah? Bantuan pendidikankah? Bantuan pendampingan hukumkah? Atau bantuan sosial lainnya,” ujar Jo. Menurut dia, bantuan sekecil apa pun dibutuhkan keluarga korban.(win/faj/ndy)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com