Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anas, Politisi yang Tersandung Kerikil

Kompas.com - 04/05/2012, 10:25 WIB

KOMPAS.com - Politisi muda yang santun, sederhana, dan mencintai keluarga. Demikian kesan yang sekilas muncul ketika melihat Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum saat mendampingi istrinya, Athiyyah Laila, di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, Kamis, 26 April. Hari itu, Athiyyah diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi pembangunan Pusat Pelatihan dan Pendidikan Olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, senilai Rp 1,52 triliun.

Kesantunan Anas tecermin dari cara bicaranya yang lembut saat memberi keterangan. Kesan kecintaan Anas terhadap keluarga terbangun lewat pengakuannya yang sering menemani Athiyyah berbelanja di pasar. Suami-istri itu juga terkesan sederhana, antara lain karena ”hanya” mengendarai mobil Toyota Kijang Innova.

Semua kesan positif itu menjadi antitesis dari berbagai dugaan keterlibatan Anas dan istrinya dalam sejumlah persoalan korupsi.

Namun, berbagai citra positif itu mendadak seperti lenyap ketika terungkap penggunaan pelat nomor palsu untuk Toyota Kijang Innova yang dikendarai Anas dan istrinya, yaitu B 1716 SDC. Nomor mobil itu ternyata juga dipakai di Toyota Alphard yang dikendarai Anas saat membuka diklat SAR Nasional Angkatan I Divisi Tanggap Darurat DPP Partai Demokrat di Cibubur pada 12 Maret 2012.

Sebuah kesalahan ”sederhana”, tetapi dapat disebut fatal karena melanggar Pasal 68 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ancaman hukumannya maksimal pidana kurungan selama dua bulan dan denda Rp 500.000.

”Kadang orang bisa jatuh bukan karena batu karang, tetapi kerikil,” kata Ruhut Sitompul, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, saat mengomentari kasus mobil Anas.

Namun, tidak hanya Anas yang tersandung kerikil. Presiden Jerman Horst Koehler pernah dikritik warganya karena menyatakan keterlibatan tentara negaranya di Afganistan adalah untuk mengamankan kepentingan ekonomi Jerman.

Koehler sebenarnya tidak melanggar hukum. Namun, akibat pernyataan itu, pada 31 Mei 2010, dia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Jerman. Koehler memilih mengakui kesalahan dan mengambil tanggung jawab dari perkataannya dengan cara mengundurkan diri.

Bersiap mengakui kesalahan dan mengambil alih tanggung jawab juga diperlihatkan Dwight D Eisenhower dalam Perang Dunia II. Persisnya ketika dia memimpin operasi pendaratan pasukan Sekutu di Normandia, Perancis, pada 6 Juni 1944.

Menyadari besarnya risiko pendaratan yang masih tercatat sebagai yang terbesar dalam sejarah ini, Eisenhower, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-34, menyiapkan pidato jika aksi itu gagal. Naskah pidato—yang tak jadi diucapkan—itu antara lain menyatakan, ”Jika ada yang patut dipersalahkan atas upaya ini, itu adalah saya sendiri.”

Sayang, kisah tentang pemimpin yang berani mengakui kesalahan dan mengambil alih tanggung jawab sulit ditemui dalam cerita politik Indonesia belakangan ini. (M Hernowo)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com