Dengan tangan kiri bergetar, ia lalu menunjuk lukisan karyanya tentang ”Sinta Obong”. Lukisan itu mengambil sudut dari balik panggung sebelah kiri.
Saat Sinta kembali diboyong menghadap Rama, menurut Pak Raden, Rama mungkuri (membalikkan badan, membelakangi) Sinta yang bersimpuh di hadapan Rama. Melihat hal itu, Sinta menangis. Dengan posisi masih membelakangi Sinta, Rama berkata, ”Kalau kamu memang masih suci, kamu harus keramas (mencuci rambut) dengan api.”
Dengan hati terpukul, Sinta lari melompat ke dalam api. ”Duh… sedihnya cerita ini. Berat, ya, jadi seorang istri dari pria Jawa,” kata Pak Raden. Ia diam dan menunduk. Matanya kembali berkaca-kaca.
Bagaimana tentang beberapa gender dan slenthem di rumah ini, Pak Suyadi? Dengan malas Pak Raden menjawab, ”Itu sudah masa lalu saya. Saya berhenti belajar menabuh gender dan slenthem setelah guru karawitan saya meninggal.”
Rencana pameran
Rumah kontrakan Suyadi yang tampak kusam terdiri dari dua kamar, satu studio di bagian depan, dapur, dan peturasan. Di dapur, di dua rak tembok tampak koleksi boneka Si Unyil dan dunianya. Rak terdiri dari dua lembar papan dan ditutup plastik. Saat plastik dibuka, boneka-boneka itu amat berdebu.
Di studio, tampak beberapa lukisan. Sebagian lukisan masih sketsa. ”Saya sudah menyelesaikan 20 lukisan, drawing, serta sketsa baru bertema anak-anak dan permainan tradisional. Saya masih harus membuat 40 karya lagi,” ungkap Pak Raden. Rencananya, ke-60 karya itu dipamerkan di Galeri Nasional, menyambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2012.
Sore itu, saat Seto Mulyadi dari Komisi Nasional Perlindungan Anak datang, ”Ho-ho-ho… encok saya kambuh lagi, Mas. Sudah dulu, ya?” kata Pak Raden sambil tertawa lebar dan menemui Seto Mulyadi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.