Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koalisi Tanpa PKS

Kompas.com - 12/04/2012, 03:30 WIB

Barangkali isu perombakan kabinet inilah yang justru lebih ”seksi” dan panas ketimbang soal perpisahan PKS dari koalisi. Parpol anggota koalisi, khususnya Golkar dan Demokrat, jelas mengincar posisi-posisi menteri yang ditinggalkan PKS. Golkar hampir pasti mengklaim ”berjasa” dalam mengegolkan Ayat (6a) Pasal 7 RUU APBN-P 2012 dalam Rapat Paripurna DPR. Di sisi lain, Demokrat selaku pemimpin koalisi bisa jadi beranggapan Golkar tidak berhak menambah jatah menteri karena tidak ”berkeringat” dalam mengusung SBY pada Pemilu 2009.

Isu perombakan kabinet tentu menjadi lebih ramai jika Mahkamah Konstitusi akhirnya memenuhi sebagian atau semua tuntutan uji materi terhadap keberadaan wakil menteri (wamen) yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Kalaupun gugatan soal wamen ditolak, sekurang-kurangnya media bakal diramaikan tuntutan pencopotan Wamen Hukum dan HAM Denny Indrayana, yang diduga melakukan penamparan terhadap sipir penjara di Pekanbaru, Riau.

Relasi Presiden-DPR

Di luar dampak politik yang dikemukakan di atas, soal lebih krusial pasca-pencopotan PKS dari koalisi adalah kemungkinan semakin tingginya dinamika relasi Presiden-DPR. Meski kekuatan parpol oposisi hanya bertambah 57 kursi dari PKS, sikap kritis PKS diduga bakal bertambah ”kencang” ketika sepenuhnya berada di luar pemerintah. Apalagi, obsesi PKS ke depan adalah menjadi parpol tiga besar pada Pemilu 2014.

Itu artinya, melalui parlemen, PKS akan memaksimalkan fungsi parlementernya untuk meraih simpati dan dukungan elektoral secara optimal. Karena itu, meski kehilangan tiga posisi menteri, pencopotan dari Setgab Koalisi justru bisa menjadi ”berkah terselubung” bagi PKS jika mereka mampu mengelolanya secara tepat dan cerdas.

Barangkali koreksi parlementer PKS ini bakal mempertinggi dinamika relasi Presiden-DPR. Soalnya bukan apa-apa, parpol ”saudara tua” yang tampak ”manis” dan memetik banyak untung dari koalisi (baca: Golkar) sewaktu-waktu sikap politiknya dapat berubah menjadi oposisi seperti tampak selama ini.

SYAMSUDDIN HARIS Profesor Riset LIPI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com