Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polisi dan Pengunjuk Rasa Adu Otot, Salah Siapa?

Kompas.com - 31/03/2012, 04:58 WIB
Maria Natalia

Penulis

Sementara itu, Yesmil Anwar, kriminolog dari Universitas Padjajaran Bandung memiliki pandangan sendiri mengenai aksi unjuk rasa yang diakhiri adu otot antara polisi dan pengunjuk rasa. Menurutnya, dalam Undang-Undang tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Nomor 9 tahun 1998, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 tahun 1999 telah tertulis dengan jelas bagaiman hak untuk mengungkapkan pendapat dan prosedurnya.

Namun baik pengunjuk rasa maupun polisi, tak peduli pada aturan yang berlaku. Hal ini mengakibatkan dua belah pihak cenderung bersikap semaunya. "Dua belah pihak sama-sama cuek. Pengunjuk rasa ada yang enggak peduli aturan. Polisinya juga harusnya bisa mencegah. Penegakan hukum kan bukan hanya bertindak keras, tapi juga mencegah sebelum aksi terus berlanjut," kata Yesmil saat dihubungi Kompas.com.

Selain sikap tak peduli, menurut Yesmil, kultur demokrasi di Indonesia juga sudah terlanjur rusak karena belajar dari masa lalu yang oenuh aksi-aksi ricuh dalam menyampaikan pendapat, termasuk aksi kekerasan yang dilakukan polisi ketika menjaga unjuk rasa. Kultur ini yang, kata dia, susah dihilangkan.

"Lama-kelamaan jadi demokrasi dengan kekerasan dan tidak secara intelektual. Cenderung karena mengutamakan ingin menyampaikan pendapat tapi dengan cara yang tidak beradab. Mengatasnamakan demokrasi, tapi caranya tidak sesuai," tegasnya.

Kekerasan yang terjadi antara dua belah pihak ini ia ibaratkan seperti telur dan ayam. Kadang mereka tak menyadari siapa yang mengawali kericuhan. "Ya sudah seperti telur dan ayam. Dua-duanya berbuat, jadi tidak tahu siapa yang duluan mengawali," ujarnya.

Terakhir, kata Yesmil, untuk menghindari adu jotos polisi dan pengunjuk rasa, alangkah baiknya polisi memperbanyak penggunaan water canon dalam menghentikan aksi anarkis massa. Ini akan membantu mengulur waktu agar kedua belah pihak dapat berkonsolidasi meredam kericuhan. Peluru tajam dan peluru karet, hanya akan menambah amuk massa yang merasa terintimidasi.

"Lihatlah di beberapa negara di Eropa. Mereka justru perbanyak water canon. Pakai saja itu, daripada peluru tajam dan peluru karet yang identik dengan kekerasan dan pelanggaran HAM. Semua aksi bisa berjalan damai, jika semua sadar hak dan kewajibannya," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

    Nasional
    Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

    Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

    Nasional
    PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

    PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

    Nasional
    Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

    Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

    Nasional
    PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

    PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

    Nasional
    ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

    ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

    Nasional
    Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

    Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

    Nasional
    PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

    PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

    Nasional
    Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

    Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

    Nasional
    Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

    Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

    Nasional
    Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

    Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

    Nasional
    Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

    Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

    Nasional
    Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

    Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

    Nasional
    Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

    Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

    Nasional
    Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

    Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com