Soal integralitas wilayah, problem ”klasik” yang kerap dicontohkan para pegiat pemilu di Indonesia adalah soal tak menyatunya Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur yang pada Pemilu 2009 dijadikan satu daerah pemilihan. Ketimpangan jumlah penduduk antarwilayah, antara lain sebagai imbas pemekaran daerah, memungkinkan problem serupa terjadi manakala daerah pemilihan kembali diciutkan, sementara daerah pemilihan masih menggunakan batasan daerah administratif.
Pada dasarnya, berapa pun besaran daerah pemilihan yang dipilih, semua alternatif mengandung konsekuensi yang harus diantisipasi secara cermat.
Contoh sederhana adalah alokasi kursi DPR untuk setiap provinsi yang sejak awal secara matematis ”bermasalah”, tetapi tak juga terkoreksi, yakni alokasi kursi bagi Provinsi Papua dan sejumlah provinsi baru hasil pemekaran yang sebenarnya tidak proporsional dengan jumlah penduduknya.
Jika prinsip kesetaraan secara tegas diterapkan, realitas politik menunjuk: bukan hal mudah untuk ”mengurangi” alokasi kursi DPR bagi sejumlah provinsi. Mungkin sama resistensinya jika harus ada keputusan untuk menambah lagi jumlah anggota DPR lebih dari 560 kursi seperti saat ini.
Pokok soal ini merupakan salah satu kunci untuk ”membetulkan” alokasi kursi dan pemetaan daerah pemilihan. Kalaupun ada kekhususan, perkecualian bagi daerah tertentu, semestinya hal itu ditegaskan dalam undang-undang, tanpa memberikan celah untuk interpretasi yang beragam. Jika persoalan ini tak dituntaskan, hal serupa potensial untuk terus dipersoalkan dari pemilu ke pemilu.
Lantas, jika benar akan dilakukan koreksi mengenai daerah pemilihan, siapa pula yang akan diserahi tugas tersebut? Akankah KPU (yang baru) nanti bakal dilimpahi tanggung jawab itu sebagaimana terjadi pada Pemilu 2004? Ataukah DPR bersama pemerintah akan mengulangi pengalaman menjelang Pemilu 2009, dengan menyertakan langsung daerah pemilihan anggota DPR dalam naskah UU Pemilu?